Lihat ke Halaman Asli

Ririe aiko

Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Penurunan Angka Pernikahan di Indonesia Mulai Mirip Budaya Jepang

Diperbarui: 7 November 2024   07:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : bingimage.com AI


Angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di banyak negara, termasuk Jepang yang mengalami tingkat depopulasi akibat rendahnya angka pernikahan dan kelahiran. Pertanyaannya adalah, apakah Indonesia akan meniru budaya Jepang, di mana banyak generasi muda enggan menikah dan berkeluarga?
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka pernikahan di Indonesia menunjukkan tren penurunan. Pada tahun 2020, angka pernikahan tercatat sekitar 1,83 juta, namun angka ini turun pada tahun berikutnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa minat generasi muda untuk menikah menurun, dan banyak yang menunda atau bahkan memutuskan untuk tidak menikah sama sekali.

Beberapa faktor yang bisa menjadi penurunan minat menikah di Indonesia meliputi:
1. Biaya hidup yang meningkat: Dengan biaya kebutuhan pokok yang semakin tinggi dan kenaikan harga hunian, banyak generasi muda yang merasa bahwa menikah dan berkeluarga adalah hal yang sulit dicapai secara finansial.
2. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang stagnan: Kenaikan gaji yang tidak seimbang dengan kenaikan biaya hidup menimbulkan kekhawatiran bagi banyak orang, terutama yang hidup di perkotaan dengan biaya hidup tinggi. Banyak pasangan muda merasa tidak mampu secara finansial untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
3. Perubahan pola pikir generasi muda: Banyak generasi muda yang kini lebih mengutamakan pendidikan, karier, dan kebebasan pribadi. Mereka cenderung menunda pernikahan untuk mencapai stabilitas karier dan finansial terlebih dahulu.

Budaya Jepang dan Alasan Enggan Menikah

Jepang menjadi salah satu contoh ekstrem di mana banyak penduduknya memilih untuk menunda atau menghindari pernikahan. Fenomena ini berkontribusi pada tingkat kelahiran rendah yang menyebabkan populasi Jepang terus menurun.

Alasan mengapa banyak orang Jepang enggan menikah meliputi:
1. Biaya hidup yang tinggi:Tingginya biaya hidup, khususnya di kota besar seperti Tokyo, membuat banyak orang ragu untuk memulai keluarga. Harga hunian dan kebutuhan sehari-hari yang mahal mempersulit orang Jepang untuk membangun keluarga.
2. Budaya kerja yang intens: Jepang dikenal dengan budaya kerja yang keras, di mana lembur dan komitmen kerja yang tinggi adalah hal biasa. Banyak pekerja merasa kesulitan untuk menemukan waktu bagi kehidupan pribadi, apalagi untuk menjalankan peran sebagai pasangan atau orang tua.
3. Perubahan nilai sosial: Ada peningkatan jumlah penduduk Jepang yang memilih gaya hidup independen dan lebih fokus pada karier dan hobi pribadi. Bagi mereka, pernikahan sering dianggap sebagai pengorbanan kebebasan dan waktu pribadi.

Mungkinkah Indonesia Berpotensi Meniru Jepang?

Jika tren penurunan angka pernikahan di Indonesia terus berlanjut, ada kemungkinan Indonesia akan mengikuti pola yang mirip dengan Jepang, meski tidak dalam skala yang sama. Tingginya biaya hidup, khususnya di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, membuat banyak generasi muda ragu untuk menikah. Selain itu, tekanan ekonomi dan peningkatan gaya hidup urban turut memengaruhi keputusan banyak orang untuk menunda atau bahkan menghindari pernikahan.

Faktor-faktor yang mendukung kemiripan ini meliputi:
1. Kesenjangan antara kenaikan biaya hidup dan upah minimum. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang kerap tidak sebanding dengan kenaikan inflasi dan biaya hidup menambah beban bagi generasi muda.
2. Pola pikir yang lebih individualistik. Dengan meningkatnya akses pendidikan dan paparan pada budaya global, generasi muda Indonesia menjadi lebih terbuka pada pilihan hidup yang independen dan cenderung menunda pernikahan demi fokus pada pengembangan diri dan karier.
3. Tekanan sosial yang mulai berkurang. Dulu, menikah di usia muda dianggap sebagai norma. Namun kini, tekanan untuk menikah di usia tertentu sudah tidak sekuat dulu, dan banyak orang merasa lebih bebas untuk memilih gaya hidup sendiri.

Penurunan angka pernikahan di Indonesia dapat dilihat sebagai hasil dari berbagai faktor ekonomi dan sosial. Kondisi ini bisa menjadi tantangan bagi populasi di masa depan jika menyebabkan penurunan angka kelahiran, seperti yang terjadi di Jepang. Jika tidak ada intervensi, seperti perbaikan pada sistem upah dan dukungan finansial bagi keluarga muda, Indonesia bisa saja mengalami fenomena serupa, yaitu depopulasi atau krisis populasi di masa depan. Perubahan sosial dan ekonomi yang sedang terjadi ini menantang pandangan tradisional tentang pernikahan dan keluarga, dan mencerminkan nilai-nilai baru yang sedang berkembang di kalangan generasi muda di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline