Lihat ke Halaman Asli

Ririe aiko

Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Tak Hanya Kurikulum, Otoritas Guru Harus Merdeka

Diperbarui: 4 November 2024   22:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : galeri pribadi 

Di era serba digital dan terbuka saat ini, fenomena guru yang dilaporkan oleh orang tua murid ke polisi hanya karena teguran atau nasihat semakin sering kita dengar. Guru dituntut, bahkan ada yang sampai menjalani proses hukum dan menghadapi ancaman penjara.

Realitas ini mencerminkan tantangan yang dihadapi dunia pendidikan kita, apakah guru, sebagai pendidik, bisa menjalankan perannya dengan penuh kemerdekaan tanpa takut dilaporkan atau disalahkan? Situasi ini pun menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah otoritas guru dalam mendidik murid di sekolah sudah merdeka?

Seharusnya, pendidikan bukan hanya soal menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga membangun karakter anak. Peran guru tak sekadar pengajar, melainkan pembentuk kepribadian anak yang mengarahkan mereka menjadi manusia yang lebih baik. 

Namun, ketakutan guru akan tuntutan hukum telah menciptakan batasan-batasan tak terlihat dalam memberikan didikan. Apalagi ketika teguran yang masih dalam batas wajar, yang sebenarnya berniat untuk memperbaiki sikap anak, justru dianggap salah dan berujung pada pelaporan hukum.

Fenomena ini dapat kita lihat dalam beberapa kasus yang mencuat dalam beberapa tahun terakhir, di mana orang tua melaporkan guru yang menegur atau menasihati anak mereka. Teguran atau nasihat yang pada dasarnya adalah bentuk kepedulian seorang guru untuk mengarahkan murid, dianggap sebagai perbuatan yang melanggar hak anak. Tak jarang, hal ini juga dipicu oleh kesalahpahaman antara orang tua dan guru, yang sayangnya sering kali tidak diselesaikan melalui dialog konstruktif, melainkan langsung dengan pelaporan hukum.

Tentu saja, kita tak menafikan bahwa ada batasan dalam mendidik. Guru pun harus memiliki kontrol dalam memberikan teguran atau sanksi, sesuai dengan pedoman pendidikan yang mendukung tumbuh kembang anak. Namun, jika teguran sederhana saja menjadi ancaman hukum bagi guru, bagaimana mereka bisa menjalankan peran pendidikan karakter? 

Dengan pola didikan yang terlalu protektif, anak justru akan sulit diajarkan tanggung jawab. Mereka bisa saja tumbuh menjadi pribadi yang egois, yang merasa segala tindakan mereka selalu benar karena orang tua selalu berada di sisi mereka dalam setiap persoalan.

Perlunya pemulihan otoritas guru menjadi isu yang krusial. Otoritas ini tidak untuk membatasi kebebasan anak, tetapi justru membantu mereka memahami batas-batas sosial dan moral. Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2019 di Indonesia menunjukkan bahwa 65% guru merasa khawatir berlebihan ketika harus menegur atau mendisiplinkan siswa. 

Mereka takut teguran yang mereka berikan akan disalahartikan oleh orang tua dan masyarakat. Hal ini tentu merugikan kualitas pendidikan kita, karena guru menjadi ragu-ragu dan kurang leluasa dalam menjalankan fungsi pendidikannya.

Ketakutan yang dirasakan oleh para guru ini adalah indikasi nyata bahwa kemerdekaan guru dalam mendidik sangat perlu untuk diperhatikan. Mengembalikan otoritas guru tidak berarti memperbolehkan mereka bertindak semena-mena terhadap anak. Sebaliknya, guru memerlukan ruang untuk mendidik dengan bijaksana, dengan tetap mengacu pada kode etik yang jelas dan pedoman pengajaran yang tepat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline