Lihat ke Halaman Asli

Ririe aiko

Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Kurikulum Merdeka ala Finlandia Tepatkah Tetap dilanjutkan di Indonesia?

Diperbarui: 24 Oktober 2024   07:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber : id.pngtree.com

Indonesia baru-baru ini mengadopsi Kurikulum Merdeka yang terinspirasi dari Finlandia, negara yang dikenal memiliki salah satu sistem pendidikan terbaik di dunia. Namun, apakah penerapan kurikulum tersebut sudah tepat di Indonesia? Mengingat realitas sosial dan budaya yang ada sangat berbeda. Berdasarkan beberapa data dan fenomena yang muncul di lapangan, muncul pertanyaan besar terkait relevansi penerapan Kurikulum Merdeka di Indonesia, terutama karena terdapat perbedaan karakteristik antara kedua negara tersebut.

Kurikulum Merdeka Finlandia vs. Indonesia

Finlandia dikenal dengan sistem pendidikan yang sangat fleksibel dan berbasis pada otonomi siswa serta guru. Sistem ini memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengatur pembelajaran mereka sendiri dengan sedikit intervensi dari otoritas pendidikan. Sekolah-sekolah di Finlandia tidak menerapkan ujian nasional yang ketat seperti di banyak negara lain, termasuk Indonesia. Guru memiliki kebebasan untuk merancang kurikulum mereka sendiri, dan fokus pendidikan bukan hanya pada akademik tetapi juga pengembangan keterampilan hidup, kreativitas, dan tanggung jawab sosial.

Indonesia, di sisi lain, memiliki tantangan yang berbeda. Data dari PISA (Programme for International Student Assessment) menunjukkan bahwa Indonesia sering kali tertinggal dalam hal literasi dan numerasi dibandingkan dengan banyak negara lainnya. Misalnya, laporan PISA tahun 2018 menempatkan Indonesia di peringkat 74 dari 79 negara dalam hal literasi membaca. Hal ini menunjukkan bahwa banyak siswa di Indonesia yang kesulitan dalam memahami teks sederhana.

Sedangkan penerapan Kurikulum Merdeka di Indonesia menuntut tanggung jawab lebih besar dari siswa dan guru. Siswa diharapkan dapat belajar secara mandiri dengan arahan minimal dari guru. Namun, fenomena di lapangan menunjukkan adanya ketidakcocokan antara ekspektasi kurikulum ini dengan kondisi nyata di banyak sekolah di Indonesia. Misalnya, dilaporkan bahwa beberapa siswa SMP di berbagai daerah masih belum mampu membaca dengan lancar. Hal ini disebabkan oleh kurangnya motivasi belajar dan anggapan bahwa mereka akan naik kelas tanpa perlu berusaha keras. Ini adalah realitas yang cukup mengkhawatirkan.

Salah satu perbedaan mendasar antara Finlandia dan Indonesia terletak pada budaya dan sikap terhadap pendidikan. Masyarakat Finlandia sangat menghargai pendidikan dan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap proses belajar. Mereka disiplin dan memiliki kultur belajar yang kuat. Sementara itu, di Indonesia, terdapat kesenjangan yang cukup besar dalam motivasi belajar. Beberapa siswa menganggap pendidikan formal sebagai beban, karena kebanyakan lebih suka berpikir bebas tanpa harus mempelajari hal-hal yang dianggap terlalu rumit untuk dipahami. Beberapa masyarakat Indonesia cenderung lebih berorientasi pada uang daripada pendidikan, yang penting bisa cari uang  yang banyak itu sudah cukup. Perihal pintar atau tidak, itu adalah opsi kesekian. Hal ini dibuktikan juga dengan adanya data penelitian yang mengungkapkan tentang rata-rata IQ orang Indonesia berkisar di angka 78. Hal tersebut jelas sudah membuktikan rendahnya minat belajar di negara kita.

Sementara di Finlandia, warganya terkenal sangat displin dan bertanggung jawab terutama pada dunia pendidikan. Mereka juga sudah memiliki standar kesejahteraan sosial yang sangat tinggi, di mana setiap warganya memiliki akses yang adil dan merata terhadap sumber daya pendidikan yang berkualitas. Semua sekolah di Finlandia memiliki fasilitas dan tenaga pengajar yang setara, sehingga tidak ada ketimpangan antar sekolah. Sebaliknya, di Indonesia, kesenjangan kualitas pendidikan antara sekolah di perkotaan dan pedesaan sangat signifikan. Di banyak daerah terpencil, akses ke buku pelajaran dan fasilitas belajar yang memadai masih sangat terbatas. Ini membuat penerapan Kurikulum Merdeka menjadi semakin sulit, karena kurikulum ini menuntut kemampuan dan fasilitas yang setara di seluruh wilayah.

Sedangkan Kurikulum Merdeka yang memberikan kebebasan lebih kepada siswa justru bisa menjadi bumerang dalam konteks Indonesia, terutama jika tidak disertai dengan dorongan motivasi dan kedisiplinan yang cukup. Berdasarkan laporan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, fenomena "kelas kosong" atau siswa yang hanya sekadar hadir tanpa aktif berpartisipasi dalam proses belajar semakin sering ditemui. Banyak siswa merasa bahwa mereka dapat lulus atau naik kelas tanpa harus berusaha keras.

Di Finlandia, kurikulum yang sama berhasil diterapkan karena masyarakatnya sudah terbiasa dengan budaya disiplin dan tanggung jawab pribadi yang tinggi. Kebebasan yang diberikan kepada siswa di Finlandia tidak disalahgunakan, melainkan justru mendorong mereka untuk lebih proaktif dan kreatif dalam belajar. Di Indonesia, sayangnya, sikap kebebasan ini cenderung disalahartikan sebagai kelonggaran, sehingga mengurangi motivasi belajar di kalangan siswa.

Lalu Apa yang Perlu Diperbaiki?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline