Mencari kerja di era sekarang bukan lagi soal mau atau tidak, tapi soal bisa atau tidak. Di tengah gemerlapnya teknologi, akses internet yang makin mudah, dan berbagai pelatihan online yang katanya bisa "meningkatkan skill," kenyataannya, banyak anak muda, terutama Gen Z masih terjebak dalam lingkaran pengangguran atau kerja serabutan. Bukan sekadar cerita, ini adalah realita yang terjadi di lapangan. Dan semakin hari, tagar desperate makin ramai menghiasi linimasa media sosial. Bukan hanya soal keluhan, tapi ekspresi keresahan anak-anak muda yang merasa tertinggal di tengah persaingan kerja yang makin ketat.
Semakin tingginya kualifikasi membuat semakin sulitnya pencari kerja mendapat pekerjaan. Belum lagi embel-embel usia, status single, memiliki segudang pengalaman bahkan beberapa mewajibkan untuk memiliki kemampuan berbagai bahasa dan skill ganda. Ini sangat ironi, tapi bukan rahasia lagi. Bahkan tingginya tuntutan tersebut, tidak diimbangi dengan kemampuan perusahaan untuk membayarkan gaji karyawan dengan layak. Sehingga ujungnya karyawan yang bekerja pun masih sana sini mencari tambahan penghasilan.
Di satu sisi, dunia kerja menuntut para pencari kerja untuk punya berbagai keahlian dan pengalaman yang mumpuni. Namun di sisi lain, banyak lulusan baru (fresh graduate) merasa belum siap memenuhi standar tersebut.
Akibatnya, persaingan kerja jadi semakin ketat, dan peluang semakin sempit. Gen Z, yang dikenal sebagai generasi yang tumbuh bersama internet, teknologi, dan media sosial, justru menghadapi tantangan besar ketika memasuki dunia kerja. Meskipun mereka dianggap lebih adaptif terhadap teknologi dan perubahan, itu tidak otomatis membuat mereka lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Faktanya, banyak dari mereka justru terjebak dalam pekerjaan serabutan, alias pekerjaan yang tidak tetap, baik secara status maupun pendapatan.
Kenapa banyak yang Pengangguran? Ada beberapa alasan kenapa pengangguran di kalangan Gen Z cukup tinggi. Salah satu yang paling mencolok adalah ketidakcocokan antara kualifikasi yang dimiliki dan kebutuhan di dunia kerja.
Banyak anak muda yang lulus dengan gelar akademis, namun dunia industri justru butuh skill teknis yang tak diajarkan di bangku kuliah. Misalnya, banyak perusahaan saat ini lebih mengutamakan kandidat dengan keahlian dalam data analytics, programming, atau digital marketing, dibanding sekadar nilai akademis yang tinggi. Selain itu, masalah ekonomi global dan ketidakpastian politik juga mempengaruhi banyak perusahaan untuk menahan diri dalam merekrut karyawan baru. Hal ini menyebabkan lowongan kerja yang ada sering kali terbatas, terutama untuk posisi entry-level. Dampaknya? Semakin banyak anak muda yang terpaksa bekerja di sektor informal, atau bahkan memilih untuk menjadi freelancer tanpa jaminan pendapatan tetap.
Faktor lain yang menyebabkan sulitnya mendapatkan pekerjaan adalah karena adanya persaingan yang semakin ketat. Kalau dulu, mungkin kita sering dengar istilah "siapa cepat dia dapat." Tapi sekarang, siapa yang lebih "mumpuni" lah yang bakal dapat. Persaingan di dunia kerja sekarang bukan hanya soal cepat atau lambat melamar kerja, tapi juga soal siapa yang punya lebih banyak kemampuan yang relevan dengan industri. Seiring dengan semakin tingginya kualifikasi yang dicari perusahaan, banyak anak muda yang akhirnya merasa tertekan untuk selalu belajar dan menambah keterampilan baru. Tidak sedikit dari mereka yang mengikuti berbagai kursus atau pelatihan tambahan, berharap bisa "menambah poin" di mata rekruter.
Tapi sayangnya, banyak juga yang akhirnya stuck di tahap pencarian kerja, tanpa kepastian kapan akan diterima. Tak heran, tagar "desperate" makin sering muncul di kalangan anak muda pencari kerja. Mereka merasa terjepit antara tuntutan dunia kerja yang tinggi, dan ketiadaan kesempatan yang seimbang. Frustasi ini jelas terlihat di media sosial, dengan curhatan-curhatan mereka yang kerap kali berujung pada rasa putus asa. Mencari kerja memang semakin sulit, apalagi di tengah persaingan yang makin ketat dan kualifikasi yang terus meningkat. Namun, bukan berarti anak muda harus menyerah.
Salah satu solusi yang bisa dipertimbangkan adalah memperluas keterampilan teknis yang memang dibutuhkan industri saat ini. Selain itu, anak muda juga perlu lebih kreatif dalam mencari peluang di luar jalur konvensional, seperti membangun usaha sendiri atau mengembangkan keahlian di bidang digital yang terus berkembang. Namun, tanggung jawab bukan sepenuhnya ada di tangan pencari kerja. Pemerintah dan dunia industri juga harus bekerja sama untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja yang relevan dan memberikan kesempatan bagi generasi muda. Bagaimanapun, harapan tetap ada, dan yang terpenting adalah terus bergerak maju tanpa kehilangan semangat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H