Lihat ke Halaman Asli

Ririe aiko

Penulis, Pengajar dan Ghost Writer

Berkereta Memberi Ruang Pada Mata untuk Menikmati Sajian Semesta

Diperbarui: 20 Oktober 2024   14:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Galeri Pribadi

Perjalanan ini dimulai dengan seberkas cahaya fajar yang perlahan-lahan menyinari kota Bandung. Udara pagi yang begitu sejuk, menusuk kulit namun memberikan ketenangan. Aku melangkah mantap menuju stasiun, menggenggam tiket kereta bisnis yang kali ini akan membawaku ke Garut. Sebuah kota kecil yang mengundangku untuk beristirahat dari penat. Ada perasaan damai yang mengalir di dada, seperti ada janji keindahan yang siap menyambut di ujung perjalanan ini.

Seperti biasa Stasiun tampak sibuk,  suara pengumuman bergema di seluruh penjuru gedung, riuh rendah para penumpang, dan derap langkah kaki yang sibuk, tak mengusik keheningan batinku. Aku melangkah ke peron, dan di hadapanku terhampar rangkaian gerbong kereta yang akan menjadi tempatku selama tiga jam ke depan. Sebuah gerbong bisnis, dengan kursi-kursi yang tampak empuk, menunggu untuk dihuni. Aku tak sabar, membayangkan kenyamanan yang akan menemani perjalananku kali ini.

Begitu memasuki gerbong, udara sejuk dari pendingin ruangan menyambut. Kursi-kursi disusun rapi, dengan bantalan lembut dan ruang kaki yang lega, memberiku rasa nyaman. Para pramugari kereta menyapa ramah, dengan senyum hangat dan sikap profesional yang menyenangkan. Aku duduk di kursiku, meletakkan tas kecil di samping, kemudian menyandarkan punggung pada kursi. Tubuhku segera tenggelam dalam kenyamanan, seolah kereta ini dirancang untuk menghadirkan ketenangan bagi setiap penumpangnya. Kusambungkan true wireless stereo dengan android, kupasangkan di kedua telinga dan lagu pun mulai berputar lembut. You're gonna live forever dari John Mayer mengawali perjalananku.  

Kereta mulai bergerak pelan, meninggalkan hiruk pikuk stasiun. Deru mesinnya terasa halus, hampir tak terdengar, hanya getaran lembut di bawah kaki yang mengisyaratkan bahwa perjalanan telah dimulai. Di luar jendela, panorama kota Bandung masih tampak. Jalan-jalan penuh kendaraan, deretan toko, dan gedung-gedung tinggi yang berdiri tegak, perlahan berganti dengan pemandangan yang lebih asri.

Tak lama setelah meninggalkan kota, di kejauhan aku melihat sesuatu yang begitu memukau,  Masjid Raya Al Jabbar. Masjid yag menjadi maskot kota Bandung ini, berdiri megah dengan arsitekturnya yang futuristik namun tetap memancarkan keanggunan religi. 

Kubah-kubah masjid yang besar bertumpuk keatas, tampak berkilauan di bawah sinar matahari pagi seakan menambah kesan spiritual pada awal perjalanan ini. Bangunan itu terlihat seperti sebuah karya seni yang melayang di atas daratan, mengundang kekaguman dari siapa pun yang memandangnya.


Kereta pun semakin cepat melaju, membelah perbukitan dan lembah. Aku menikmati suasana di dalam gerbong, di mana kenyamanan kursi membuat setiap detik terasa santai. Para pramugari dengan ramah menawarkan secangkir kopi panas. Uapnya mengepul perlahan, aroma kopi yang khas segera memenuhi indera penciumanku. Aku pun tak tahan untuk memesannya. 

Ku raih secangkir kopi itu dengan kedua tangan, kurasakan kehangatannya di tengah udara sejuk dalam gerbong. Satu tegukan pertama memberi rasa tenang yang sulit dilukiskan, seolah secangkir kopi ini bukan sekadar minuman, melainkan teman perjalanan yang melengkapi pengalaman visual di hadapanku.

Satu jam berlalu dengan cepat, kali ini kereta mulai melintasi kawasan Nagreg, kali ini alam seakan menunjukkan wajah terindahnya. Di luar jendela, terbentang lembah hijau yang begitu luas, dihiasi pepohonan tinggi yang berjajar rapi di sepanjang garis pandang. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline