SEJARAH GENDUREN DAN KELESTARIANNYA
Genduren atau kenduri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, meminta berkah, dan sebagainya. Kenduri atau yang lebih dikenal dengan sebutan selamatan, brokohan atau istilah lain yang semakna telah ada sejak dahulu sebelum masuknya agama ke Nusantara.
Pasca Islam masuk ke tanah Jawa pada masa Walisongo, tradisi kenduri diramu sedemikian rupa dalam dakwah hingga menjadi produk hasil akulturasi budaya. Perpaduan budaya lokal dengan nilai-nilai agama dan dzikir dalam agama Islam, sehingga melahirkan sebuah corak keislaman baru. Akulturasi budaya seperti inilah yang melatarbelakangi agama Islam mudah diterima masyarakat pribumi dan dalam waktu singkat islam mampu tersebar di seluruh tanah jawa bahkan ke berbagai pelosok nusantara. Selanjutnya konteks corak keislaman tersebut kemudian diterjemahkan dan dilestarikan oleh Nahdlatul Ulama, dan hari ini familiar disebut sebagai Islam Nusantara.
Budaya genduren sama sekali tidak asing di telinga warga Nahdlatul Ulama (Nahdliyin). Berbagai amaliyah tradisi keagamaan di lingkup Nahdliyin sering menggunakan konsep genduren dalam prakteknya. Bahkan terkadang di "plesetkan" dengan istilah "acara inti makan-makan". Tengok saja mulai kirim doa (tahlilan), selamatan bayi, pengajian (majelis ta'lim), manaqiban, tasyakuran (walimah), mendirikan rumah, dan berbagai acara keagamaan maupun acara hasil akulturasi budaya akan dipungkasi dengan acara makan-makan.
Sereceh pemahaman penulis di tahun 90an dulu, genduren adalah sebuah acara yang diadakan karena ahlul bait (tuan rumah) sedang punya suatu hajat tertentu. Apapun padanan katanya, masa itu bahkan mungkin sampai hari ini istilah genduren lebih familiar disebut dengan "amin-amin". Dan sudah barang tentu even ini akan disambut dengan penuh antusias oleh semua kalangan ekonomi bawah. Waktu itu berkat genduren adalah hal yang paling ditunggu oleh anak-anak di era 90an. Alasannya adalah lauk nasi berkat genduren pasti tergolong mewah, minimal telor separo atau jika beruntung malah lauk daging ayam / sapi.
Bergeser sampai hari ini, rasa enak berkat genduren tentu tak lagi senikmat masa itu. Pasalnya, menu istimewa menjadi menu biasa seiring dengan pertumbuhan status ekonomi dan sosial masyarakat secara umum. Satu hal yang tetap sama, budaya genduren tetap ada bahkan dengan intensitas yang terkadang terlampau sering.
GENDUREN DAN RASIONALITAS SUBSTANSINYA
Budaya genduren dengan berbagai variannya yang hingga kini masih dilestarikan di berbagai belahan bumi Nusantara, dari daerah perkotaan hingga pelosok pedesaan secara langsung dan tidak langsung ternyata sangat membantu negara dalam membentuk jaring perlindungan sosial, kesehatan masyarakat, hingga perekonomian negara.
Bagaimana tidak, implikasi dari budaya genduren di masyarakat tidak sesederhana yang bisa dibayangkan. Di bidang perekonomian saja, genduren mampu menggerakkan perekonomian masyarakat desa dan perkotaan. Mulai dari hal sederhana seperti munculnya penjual daun salam dan laos, pedagang bumbu dapur skala menengah hingga besar, toko plastik yang menjual atribut bungkus berkat genduren, pedagang sembako, pedagang tikar-karpet, dan pedagang lainnya yang berkaitan dengan kebutuhan acara genduren.
Rantai perekonomian diatas masih bisa kita monitor melalui pasar-pasar tradisional hingga swalayan besar. Belum lagi perusahaan yang bergerak di bidang logistik, perusahaan pembuat bumbu dapur instan, dan perusahaan dan industri yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan rantai perekonomian ini. Sampai disini bayangkan saja, berapa banyak tangan manusia yang terlibat hanya untuk sebuah acara genduren? Berapa banyak manusia yang ter-cover dalam jaring perlindungan sosial hanya karena sebuah budaya genduren? Belum lagi, genduren juga mampu menjamin asupan nutrisi jutaan masyarakat di negara ini.
KAMPANYE PURIFIKASI ISLAM DAN BAHAYANYA