Lihat ke Halaman Asli

Erik Kurniawan

Aktivis Pergerakan Pemuda

Wakaf Waktu 5 Menit untuk Organisasi

Diperbarui: 10 Juni 2022   19:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Disclaimer - Sebelumnya penulis memohon maaf jika tulisan ini nantinya terkesan kental dengan nuansa Ansor sentris, namun penulis berharap implementasi dari tulisan tentang keresahan ini masih bisa diambil benang merahnya untuk kepentingan dan kemashlahatan yang lebih luas. Satu hal yang penting, tulisan ini tetap merupakan persembahan penulis untuk silent reader yang semoga senantiasa berbahagia.
***
Beberapa waktu belakangan, penulis merasakan satu keresahan dimana semakin hari seperti hidup hanya dalam balutan wacana dan gagasan. Setiap cetusan ide-ide hanya tertulis mentah ataupun setengah matang begitu saja di catatan tanpa terkonversi menjadi sebuah rencana kerja, apalagi agenda realisasi kerja. ~Sengaja disisipi curhatan pribadi, biar agak panjang aja sih. hehe~

Menilik hal tersebut, kemarin penulis iseng saja mengumpulkan data sederhana tentang jumlah follower akun Instagram PAC GP Ansor se-Kabupaten Ponorogo. Terlepas dari konten yang terlalu 'segmented' maupun berbagai kendala teknis pembuatan konten di lapangan, kenyataan bahwa jumlah follower tiap akun yang mayoritas tidak mampu menembus angka 1000 secara fair harus dikatakan sangat miris. 

Dan ternyata hal tersebut begitu relate dengan topik pembahasan saat ngopi bersama sahabat-sahabat Ansor beberapa bulan lalu. Yakni dengan sebuah kesimpulan : meskipun akun medsos jarang update konten sekalipun, jika setidaknya tiap akun punya 10k follower organik (bukan suntikan) pasti terlihat keren. Kemudian muncullah cetusan ide "program arisan follower". 

Tanpa perlu menguraikan maksud dan tujuan arisan follower diatas, kita tentu akan faham kearah mana program tersebut bermuara. Ya, secara sederhana dan receh katakanlah untuk menambah follower organik di tiap akun PAC GP Ansor se-Ponorogo. Namun, sebenarnya justru bukan itu yang menjadi fokus tujuan utama.

Seperti yang kita ketahui, era digital seperti ini seakan sudah tidak ada lagi sekat antara dunia maya dan dunia nyata. Di dunia maya (media sosial) kita tidak akan bisa lepas dari yang dinamakan filter bubble algoritma maupun echo chambers. Dimana 2 poin ini adalah poin penting untuk "mengamankan" media sosial diri pribadi dan lingkaran sosial di sekitar kita. Kenapa bisa demikian? Silahkan cari artikel terkait bahasan 2 hal diatas, dan anda akan faham dengan sendirinya tentang bahaya dan potensi negatif yang ditimbulkan. Termasuk relate-nya dengan program arisan follower diatas.

Kembali pada keresahan yang membuat miris tersebut, secara teknis struktur organisasi dan lingkup sosial kader Ansor sebenarnya berpotensi besar mengatasi (menjadi problem solver) hal ini. Hanya saja, kesadaran bahwa diri sendiri merupakan bagian dari masalah yang tengah dipermasalahkan, masih sangat minim. Instrospeksi dan afirmasi saja lah, apa strategi dan usaha yang telah kita lakukan untuk membesarkan akun media sosial di lingkup Nahdlatul Ulama selama ini? 

Jangankan akun medsos resmi dan arus utama di Nahdlatul Ulama, bahkan tingkat ranting (desa) saja masih entah dan payah. Dengan demikian, bukankah kita sebenarnya juga bagian daripada masalah diatas? Pertanyaan selanjutnya, kesadaran untuk peduli dan berpihak untuk membesarkan akun medsos NU dan afiliasinya ini apakah sudah menjadi kesadaran semesta kader Ansor? SAMA SEKALI BELUM.

Berfikir simpel, teknis arisan follower tidak membutuhkan banyak orang, pun tidak wajib melalui struktural GP Ansor yang telah tersebar di 21 kecamatan se-Ponorogo. Katakanlah ada 3 koordinator di tingkat kabupaten sebagai entitas untuk mengatur ritme, koordinasi dan penjadwalan. 

Di tingkat kecamatan harus ada setidaknya 1-2 koordinator yang bertugas merekrut dan meneruskan instruksi kerja. Selanjutnya, di tiap kecamatan harus ada minimal 50 anggota dan dijadikan satu WAG untuk koordinasi. Total hanya ada 2 grup untuk koordinasi lini, 1 di tingkat kabupaten, dan 1 di tingkat kecamatan. 1 grup berisi koordinator kecamatan dan koordinator tingkat kabupaten, sedang 1 grup lagi berisi koordinator kecamatan dan anggota dari kecamatan masing-masing.

Secara teknis mungkin agak berat merekrut sejumlah 50 orang tiap kecamatan, apalagi mengandalkan SDM yang berasal hanya dari kader GP Ansor yang telah terbagi di berbagai divisi tugas organisasi. Dibuat luwes, 50 orang ini bisa berasal dari unsur apapun baik di struktural maupun kultural NU asalkan mau berkomitmen untuk mewakafkan 5 menit tiap hari untuk Nahdlatul Ulama.

Pun, istilah 50 orang tiap kecamatan bisa diartikan lain misalnya : sebagai 50 akun yang aktif bekerja. Misalkan saja 1 orang memegang 5 akun, maka hanya butuh 10 orang yang bekerja di tiap kecamatan. Pun, 5 akun ini tidak harus berada dalam satu gadget, bisa juga kan 1 orang ini melibatkan pacar, istri, adik, kakak, bapak, ibu, atau keponakan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline