Sebagai makhluk hidup manusia melalui dan mengalami tahap perkembangan dan pertumbuhan. Dalam tahap perkembangan itu, manusia sebagai subjek mencakup aku empiris (yang kelihatan) dan aku sejati. Kedua hal ini dalam tahap perkembangan manusia tidak bisa dilepaspisahkan. Oleh karena itu, dalam tahap perkembangan manusia, memuat manusia yang beraktivitas, berpikir dan berpengertian serta berpartisipasi. Segala yang termasuk dalam tahap-tahap perkembangan ini berjalan terus hingga memuncak dan kemudian mengendap dalam diri manusia. Namun segala sesuatu yang termasuk dalam tahap-tahap perkembangan itu, bukanlah sementara dan terjadi secara kebetulan atau darurat saja, melainkan berarti dan bernilai mutlak serta definitif. Artinya Semuanya berjalan dan bergerak memuncak serta tidak terbatalkan dan tidak bisa mengulang untuk memulai dari titik awal lagi.
Dinamika perkembangan manusia yang mutlak dan memuncak itu kemudian memadat. Untuk memahami hal ini, kita mesti tahu bahwa tahap perkembangan manusia yang memuncak itu mencakup bertambahnya aktualitas manusia dan potensialitas manusia, baik menurut keluasan maupun kepadatannya. Argumentasi dasarnya adalah bahwa bukan jiwa atau badan yang menyebabkan manusia pemberhentian.
Prinsip utama yang hendak dikemukakan di sini adalah prinsip kesatuan badan dan jiwa. Badan yang menjiwa atau sebaliknya, jiwa yang membadan. Kesamarataan jiwa-badan akan membuat manusia tidak akan pernah mencapai bentuk yang definitif atau selesai, total. Namun demikian, perjalanan manusia menuju puncak bukan tanpa batas. Dinamika perkembangan manusia pada satu titik akan mengalami pemberhentian. Manusia tidak mungkin terus-menerus berkembang dan memuncak. Manusia harus berhenti agar setiap bentuk perkembangannya mempunyai arti dan makna.
Dinamika perkembangan manusia pada satu titik akan mengalami pemberhentian, yakni terjadi dalam kematian. Maka sangat tidak masuk akal apabila tahap perkembangan manusia berakhir dalam ketiadaan. Artinya ketidakterbatasan menyalahi logika perkembangan manusia dan memuncak dalam ketiadaan adalah sesuatu yang mustahil. Sebab apabila dinamika memuncak dalam ketiadaan, maka segala aktivitasnya, kegiatannya, pengertiannya dan penghargaannya yang mengendap dalam diri manusia tidak memiliki nilai dan tak bermakna. Dengan kata lain segala aktivitasnya, kegiatannya, pengertiannya dan penghargaannya yang mengendap dalam manusia tersebut merupakan kesia-siaan belaka.
Hal inilah yang membuat manusia sering kali melihat kematian sebagai sesuatu yang menakutkan. Oleh karena itu Pemberhentian yang terjadi dalam kematian harus dipandang secara positif, yakni agar dinamika perkembangan manusia berarti dan memiliki makna. Pemberhentian itu tidak bisa dipandang sebagai penghambat bagi manusia untuk terus berkembang. Artinya ada harapan kristalisasi badan dan jiwa manusia secara bersamaan dan merata. Hal ini hanya mungkin apabila kematian seharusnya dilihat dalam rangka membawa manusia pada kristalisasi badan dan jiwa. Badan dan jiwa manusia yang menyatu dan memadat saling menguatkan dan melengkapi.
Pernyataan tersebut didasari oleh kenyataan bahwa setiap perubahan pada dimensi badani akan diikuti perubahan pada dimensi rohani, demikian juga sebaliknya sebaliknya. Perkembangan manusia diikuti dengan perkembangan badan dan jiwa. Kedua hal ini tidak bisa dilepaspisahkan, tidak ada dualisme. Perkembangan badan akan mempengaruhi perkembangan jiwa dan jiwa menyusul perkembangan badan, demikian juga sebaliknya
Dengan demikian kristalisasi yang terjadi pada saat kematian bersifat rohani dan sekaligus badani. Pengejawantahan manusia akan terjadi terjadi apabila jiwa dan badan dilibatkan sehingga berkembang secara bersamaan, ada kesamarataan. Badan dan jiwa harus bekerja sama secara integratif agar saling melengkapi guna menunjang eksistensi manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H