Lihat ke Halaman Asli

Ujian Akhir SMA, Kerumitan di Tengah Kerumitan

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya tadi pagi berkunjung ke pasar dan warung nasi pecel kesukaan saya beberapa tahun lalu, berhubung libur karena kakak kelas yang menjalani ujian sekolah, dan hampir tidak menemui adanya orang muda. Mereka sibuk menuntut ilmu (walau menuntut, setelah diberikan, cukup sering tidak dimanfaatkan dengan baik), dan ada yang sedang ujian, seperti siswa kelas 12 di sekolah saya. Mereka mengerjakan soal-soal ujian tersebut di pagi hari, dan sesudah itu belajar untuk ujian berikutnya. Mengapa rumit di tengah kerumitan?

Ujian adalah sarana yang digunakan untuk mengetahui kemampuan peserta didik. Baik awal atau akhir sama saja ujian, sehingga ada tes masuk, pre-test, ujian akhir, dan sebagainya, yang penting ujian. Ujian untuk SMA tidak bisa dikatakan mudah, karena siswa dituntut memahami sangat banyak materi dan menuangkannya dalam kertas. Walaupun untuk siswa SMA, belum tentu siswa, atau bahkan alumni perguruan tinggi bisa mengerjakannya. Sebagai contoh, UN mata pelajaran kimia belum tentu bisa dikerjakan mahasiswa jurusan pendidikan matematika, walaupun ia dari jurusan IPA saat SMA. Mengapa demikian? Siswa hanya dituntut memahaminya "untuk terakhir kalinya", sehingga banyak yang lantas melupakan betapa beratnya perjuangan mereka dahulu kala. Walau demikian, patut diakui bahwa memang rumit cara untuk memahaminya dan mudah untuk melupakannya.

Di tengah kesibukan siswa berjuang menyukseskan ujian, mereka pun masih direpotkan dengan berbagai masalah seleksi masuk PTN. Proses yang panjang (terutama untuk SNMPTN, didukung tutupnya situs Dapodik, yang diperlukan untuk mencari NISN siswa), ditunjang rendahnya tingkat kesuksesan (walaupun masih ada 2 jalur lagi), menambah beban siswa. Kerumitan tak berhenti di sana, sebab 6 buah LJK dan onggokan pensil 2B sudah menunggu untuk digunakan pada pertengahan bulan April. Sebelumnya pun, ada berbagai buku persiapan UN berisi kumpulan rumus yang sulit dipahami kaum awam sudah siap dilahap siswa, bak singa kelaparan.

Siapa yang salah? Pelaksana pendidikan menjadi terdakwanya, hingga bosan pun tetap sering terjerat. Di UU No. 20 tahun 2003, tercantum terlalu banyak mata pelajaran wajib di sana. Alasan untuk mencegah perampingan struktur lembaga pendidikan? Bisa jadi, sebab terlalu banyak guru yang perlu makan. Apakah diganti robot saja? Perlu listrik. Selain itu, dapat pula sebagai sarana memperbanyak proyek, demi kantong orang-orang yang pantas bergelar doktor ilmu pemerasan rakyat.

Sebagai adik kelas, saya hanya dapat mengucapkan selamat berjuang bagi siswa kelas 12, dan pula sebagai rakyat untuk mengajak penguasa peduli pendidikan. Jangan sampai banjir siswa Indonesia ke negara lain dibiarkan terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline