BAB 10 : PENGKHIANATAN
Aditya Wirawan menggendong cangkir keramik hangat di tangannya sambil mengamati uap yang mengepul seperti makhluk halus yang naik ke langit. Aroma kaya biji kopi yang baru digiling memenuhi dapur mungil itu, aroma yang menjadi latar perbincangan pagi yang tak terhitung jumlahnya bersama adiknya, Dinda Pramesti.
"Coba pikirkan, Adit," Dinda berbicara dengan penuh semangat, matanya memantulkan cahaya awal yang masuk melalui jendelanya, "Proyek baru ini dapat mendefinisikan kembali karirku."
Dia mendongak dari perenungannya pada permukaan kopi yang berputar-putar, menatap tatapannya. "Aku yakin kamu akan menaklukkan yang ini juga, Dind. Kamu selalu berhasil."
Sudut mulutnya terangkat membentuk senyuman yang tidak sampai ke matanya---tanda adanya badai di balik penampilan luarnya yang tenang. Dia mengulurkan tangan, menepuk pundaknya dengan sikap yang diam-diam mengakui ketangguhan mereka bersama.
"Keyakinanmu sangat berarti bagiku, Adit. Tapi terkadang, aku bertanya-tanya apakah aku mengejar hal yang benar." Kata-katanya terhenti, sedikit tanda kerentanan dalam suaranya yang biasanya tegas.
"Hei," katanya lembut, sambil meremas tangan wanita itu, "Kamu punya naluri dalam dunia bisnis yang bahkan aku sendiri tidak bisa memahaminya. Percayalah pada hal itu."
Percakapan mereka disela oleh bunyi bel pintu. Dinda melirik jam dinding, ekspresi mengenali melintas di wajahnya. "Itu Rizky Maulana. Dia mau membahas merger yang akan datang."
Aditya menegang saat menyebut nama itu, sebuah reaksi yang tidak disengaja. Rizky Maulana dikenal di kalangan kalangan atas karena kharismanya dan kelihaiannya dalam berbisnis. Kehadirannya tentu membawa perkembangan signifikan bagi karier Dinda.
"Bicaralah tentang iblis, dan dia akan muncul," gumam Aditya sambil meletakkan cangkirnya dengan bunyi denting di meja.