Lihat ke Halaman Asli

Erick M Sila

Pendidik

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #7

Diperbarui: 15 Januari 2024   11:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

canva.com/design

BAB 7 : MENGUMPULKAN KEKUATAN

Di tengah dengungan gumaman kontemplatif dan dentingan lembut gelas wine, Raden Aditya Wirawan berdiri di tengah hiruk pikuk pameran seni yang mengubah galeri lokal menjadi kaleidoskop warna-warni cerah dan emosi mendalam. Tatapannya menelusuri serangkaian lukisan, setiap sapuan kuas membisikkan rahasia dunia yang jauh dan mimpi-mimpi intim. Dia mendapati dirinya terjerat oleh satu bagian - lautan yang bergejolak dengan warna nila dan biru kehijauan yang ganas, dengan sebuah kapal yang dengan tangguh membelah jantungnya.

"Kuat, bukan?" Sebuah suara, jelas dan bergema, menarik perhatiannya.

Aditya menoleh dan menemukan Agnes Ratna Dewi di sampingnya, rambut pixie-nya membingkai wajahnya seperti lingkaran cahaya dengan latar belakang lampu galeri yang menyala. Matanya---sebuah badai dalam dirinya sendiri---menahan matanya dengan intensitas yang sepertinya menggemakan lautan yang bergejolak di dalam bingkai.

"Memang," jawab Aditya, menemukan suaranya. "Seolah-olah sang seniman menangkap esensi ketabahan di tengah kekacauan."

"Ketabahan... atau mungkin kerinduan akan petualangan di balik cakrawala," renung Agnes sambil memiringkan kepalanya sambil berpikir. "Omong-omong, saya Agnes. Agnes Ratna Dewi."

"Raden Aditya Wirawan. Tapi tolong, Aditya saja." Dia mengulurkan tangannya, yang dijabatnya dengan cengkeraman tegas yang menyangkal penampilannya yang halus.

Percakapan mereka naik turun seperti gelombang pasang surut yang tergambar dalam lukisan di hadapan mereka. Mereka berbicara tentang gairah dan inspirasi, tentang aroma minyak di atas kanvas dan aroma biji kopi yang baru digiling yang memabukkan. Aditya berbagi renungannya tentang kedalaman filosofis kafein, dan bagaimana setiap tegukan sepertinya mengungkap jalinan alam semesta seutas benang demi seutas benang.

"Kamu penikmat kopi yang hebat, Aditya," Agnes terkekeh, matanya berbinar geli. "Aku belum pernah bertemu seseorang yang bisa menjadi puitis tentang minuman sebelumnya."

"Ini lebih dari sekadar minuman; ini sebuah ritual," desak Aditya, meski kehangatan tawanya melunakkan keseriusannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline