Lihat ke Halaman Asli

Erick M Sila

Pendidik

Belajar dari Nikmatnya Secangkir Kopi #5

Diperbarui: 12 Januari 2024   22:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.canva.com/design

BAB 5: Mengikuti Pelatihan

Kedai kopi berpadu dengan irama jantung yang hidup dengan janji hari itu. Sinar matahari masuk melalui jendela-jendela tinggi, menebarkan pola-pola kaleidoskopik pada para pengunjung yang tampak surut dan mengalir seperti air pasang dalam kehangatan yang mengundang. Udara dipenuhi aroma memabukkan dari kopi yang baru diseduh, perpaduan yang begitu kaya hingga terasa nyaris nyata, menyelimuti setiap orang seperti pelukan yang menenangkan.

“Ada aroma khas hari ini,” renung Raden Aditya Wirawan lantang, indranya terjerat oleh tarian kacang sangrai yang memabukkan di udara. Tatapannya menyapu konter tempat cangkir-cangkir mengepul menunggu tangan-tangan yang bersemangat, cairan di dalamnya menjanjikan hiburan dan kebangkitan.

"Kamu bisa merasakannya?" Lilis Sulastri muncul di sampingnya, suaranya bersenandung merdu bergema dengan denting keramik di atas kayu. Senyuman hangatnya menjadi ciri khas kafe dan juga kopinya, memancarkan rasa seperti di rumah sendiri di tengah kekacauan. "Setiap hari kita menciptakan keajaiban dalam cangkir."

“Belajar dari yang terbaik,” jawab Aditya, matanya mencerminkan kekaguman yang tulus terhadap wanita yang tidak hanya menjadi mentor tetapi juga mercusuar yang membimbingnya menuju penguasaan keahlian ini. Kecintaannya terhadap kopi bukan sekadar pekerjaan; itu adalah bukti seni hidup dengan sengaja, masing-masing memberikan pujian atas kesabaran dan ketelitian.

"Memperhatikan detail, itu kuncinya," kata Lilis sambil menyisir seikat rambut bergelombang ke belakang telinganya sambil mendekat, jari-jarinya dengan cekatan mengatur pengaturan pada mesin espresso. "Seperti mengenal teman—kamu harus tahu kapan dia membutuhkan ruang dan kapan dia memerlukan tekanan."

"Dan setiap biji kopi memiliki ceritanya sendiri," bisik Aditya, lebih pada dirinya sendiri dibandingkan pada orang lain. Pikirannya melayang ke momen-momen kecil yang terkesan sepele namun menyimpan esensi kehidupan di dalamnya.

"Betul sekali," Lilis menyetujui, mata cokelatnya berbinar penuh pengertian. “Dan saat kamu menyeduh dengan hati, setiap teguknya akan berbicara tentang perjalananmu.”

Aditya merasakan kekeluargaan dalam kata-katanya, pengakuan diam-diam atas perjalanan yang ia mulai—baik dalam alkimia kopi maupun eksplorasi lebih dalam atas keberadaannya sendiri. Dia menyaksikan tangan Lilis bergerak dengan anggun dan pasti, setiap gerakannya merupakan pelajaran tentang perhatian.

"Siap untuk belajar lagi?" dia bertanya, pertanyaannya menggantung di udara seperti sebuah undangan untuk melangkah ke dunia di mana waktu melambat dan tindakan terkecil dapat memiliki arti yang sangat penting.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline