Lihat ke Halaman Asli

Benedict Erick Mutis

Seorang mahasiswa biasa

Menggali Afek "Pujian Artifisial" dalam Game Grand Theft Auto V

Diperbarui: 27 Januari 2023   06:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Grand Theft Auto 5 adalah sebuah permainan sudut pandang pertama dan bersifat dunia terbuka (open world). Dengan memainkan 3 karakter secara sinergis, yakni Michael, Trevor, dan Franklin, para pemain diberikan hak prerogatif atas "nasib" ketiga karakter tersebut. 

Misi-misi, rintangan, serta kuriositas pemain game terhadap dunia terbuka itu pun tak kalah ditebalkan. Apresiasi, penghargaan, serta pujian sebagai efek timbal balik pemain game dan karakter miliknya.

Bila kita letakkan pada pemosisian, maka terciptalah peran "aku" sebagai subjek, "kamu" dalam game yang "aku kendalikan", memainkan subjek ganda, alias mewayangkan. 

Wayang dimainkan, diatur, dan dikendalikan oleh seorang dalang, yang adalah subjek utama. Biasanya seorang Dalang, memiliki kedekatan personal, intim, dan lebih dengan wayangnya yang memunculkan semacam proyeksi tubuh Dalang. 

Dalam konteks game GTA V, kita sebagai Dalang, lambat laun mengkreasikan jembatan dialogis proyektif. Jembatan dialogis proyektif (disebut penulis) adalah proses perampungan jembatan penghubung realitas Dalang dan Wayang yang perlahan melebur.

Berkaca dari kata kunci 'realitas' di paragraf sebelumnya, apa itu realitas? Menurut penulis, realitas adalah manifestasi pencerapan inderawi manusia, yang dielaborasi, diolah, dan dikaji secara mendalam membentuk sebuah dunia privat persepsional. Sederhananya, tiap individu memiliki realitas imanen dan transenden. 

Penulis sebut realitas imanen adalah realitas yang dipersepsikan oleh "aku". Subjektivitas bermain di dalamnya, menggantungkan dirinya terhadap persepsi-konsepsi "aku" melihat realitas riil saat ini. Realitas kolektif adalah realitas bersama, dirasakan oleh mayoritas individu. 

Biasanya realitas kolektif menyangkut letak geografis, pengetahuan umum, dan sejenisnya. Posisi "aku" melebar menjadi "kita", atau bisa juga kacamata subjektif yang terkristalisasi oleh kacamata-kacamata lainnya.

Selanjutnya, apa itu pujian? Kita pasti sangat senang bila dipuji. "Wih, bagus ya bajunya!" atau "Keren banget mobilnya bro!", dan lain sebagainya. Pujian merupakan timbal balik, responsi, atau penilaian atas sesuatu yang 'lebih' dibanding "si pemuji". 

Makna 'lebih' dapat berupa apresiasi atas pencapaian, penyelesaian tujuan, penebalan eksistensi diri, dan lainnya. Posisi "si pemuji" di sini bukanlah inferior atau rendah dibanding 'yang dipuji', melainkan menghargai tercapainya satu pijakan level tangga kehidupan. 

Misalnya, jika teman atau kolega kita telah menyelesaikan studi sarjananya, maka kita barangkali otomatis mengucapkan "Selamat ya udah lulus!", walaupun sebenarnya (menurut penulis) pujian merupakan penundaan penderitaan yang lebih di masa depan. Diibaratkan seperti meminum minuman beralkohol. Semula direncanakan sebagai penghilang stress dan kepenatan, malahan semata menunda waktu mereka akan datang kembali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline