Lihat ke Halaman Asli

Antara Candi dan Politik

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Antara Candi dan Politik

Karya : Eric Keroncong

Inilah hidup, tak bisa dipungkiri lagi. Apa daya mata tak bisa berpaling saat kedua bola mata kita disuguhkan lembar-lembar Rupiah tepat di pelupuk kita? Pasti, semuanya akan tergiur, meneteskan air ludahnya. Ah...dunia ini sudah digerakkan oleh lembar-lembar Rupiah.

Aku menyaksikan, saat kampanye pemilihan di sudut bumi pertiwi. Berlomba-lomba menggumbar janji-janji manis diatas panggung sandiwara. Panggung itu adalah sebuah kendaraan politik yang suatu saat akan mengantarkan meraih kursi kekuasaan.

“Kau lihat saja, politik itu!” ujar lelaki disampingku dengan logat Batak.

Kupandangi lelaki itu dengan tatapan serius, mungkin saja dia sedang kesal sama politik yang terjadi di tanah air.

“Kau, anak muda. Kenapa kau pandang wajahku dari tadi?” hardiknya.

Aku alihkan pandanganku secepat kilat. Memandangi calon-calon penguasa baru. Calon penghuni kursi kekuasaan.

***

“Kamu sudah gila, seharian dibawah terik mentari?” ujar Basoka padaku.

“Gila?” tanyaku sambil menatap kearahnya.

“Iya, kamu sudah gila.”

“Kamu itu yang gila, Bas.”

“Kalau kamu nggak gila, ngapain kamu seharian di lapangan itu?”

“Aku hanya melihat calon penguasa baru, Bas.”

“Pokoknya kamu sudah, gila!”

Basoka menutup daun pintu dengan kerasnya. Aku hanya bisa menelan air ludah dalam. Tak seperti biasanya, Basoka memperlakukanku seperti itu. Kasar dihadapanku. Aku mencoba menahan rasa perih ini.

***

Pagi telah menyapa, terik sinar mentari melukis keindahan alam sebenarnya. Aku menggayuhkan kedua langkah kakiku. Entah, hari ini aku seperti anak ayam kehilangan induknya.

“Kau, anak muda! Sini...” panggil lelaki yang aku jumpai di lapangan siang itu.

“Om...” jawabku.

“Kau jangan panggil aku, Om. Panggil saja aku Tulang!”

“Baik, Om Tulang.”

“Tulang, anak muda. Kau dengar itu?”

Aku menganggukkan kepala,”Baik. Tulang.”

Oh, rupanya orang Batak itu bernama Tulang. Tulang mengajakku kesebuah tempat yang berapa kali aku singgahi. Tapi, sudah lama aku tak singgah di tempat favoritku sewaktu kecil dulu. Setiap hari libur, Mama mengajakku ke Candi. Ya...Candi yang dibangun oleh Kerajaan Mojopahit berapa ratus tahun silam.

“Lihat, anak muda!” Tulang menunjuk kearah Candi.

Betapa kagetnya aku, Candi ini tak terawat oleh Pemerintah setempat.

“Ini aset pemerintah. Diluar sana, kampanye menggumbar janji-janji. Mengurus Candi kecil ini saja tak becus mau mengurus ribua rakyat?”

Aku diam. Ah...lagi-lagi politik. Aku mencabut rerumputan yang berkeliaran di tembok Candi. Candi yang dulunya aku jumpai diusiaenam tahun begitu mempersona, kini menyakitkan kedua kelopak mataku.

***

Hatiku terisi, saat Tulang mengajakku ke Candi. Sepulang dari Candi bersama Tulang, aku memandangi cermin didalam kamar.

“Wahai cermin, antara Candi dan Politik mana yang diutamakan?”

Cermin tersenyum. Tak memberikan jawaban yang berarti. Aku merobohkan tubuhku diatas kasur empuk. Mencoba memejamkan kedua kelopak mata ini, berharap orang yang duduk di kursi kekuasaan akan mempercantik Candi itu. Harapanku sebelum mentari muncul.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline