Lihat ke Halaman Asli

Mana yang Lebih Menakutkan, Debt Collector di KL atau Polisi/PJR di Tol Cipularang?

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13329340402017981259

[caption id="attachment_178838" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Satu hari yang lalu seorang rekan di kantor saya mengalami kejadian yang unik di jam istirahat makan siang. Ketika dia baru saja selesai memarkirkan kendaraannya di pelataran parkir Mandiri Remittance di daerah Chow Kitt (Jl.Tun Abdul Rahman), tiba2 saja dia dihampiri oleh dua orang etnis India dengan perawakan tinggi besar dan menyeramkan. Salah seorang diantaranya "menyapa" dengan nada cukup keras, "Abang belum bayar kereta 10 bulan yah?". Terang saja teman saya ini terperanjat dan sedikit gugup, ditambah lagi saat itu dia kebetulan membawa sejumlah uang yang hendak dikirimkan ke Indonesia via Mandiri Remmitance tersebut. Ternyata setelah diskusi lebih lanjut, rupanya owner dari kendaraan tersebut (teman saya meminjam dari rental) belum melunasi pembayaran kredit mobil tersebut (kereta = mobil). Teman saya yang hanya pelanggan rental mencoba menjelaskan kepada kedua Debt Collector tersebut, bahwa saat itu dirinya sedang memiliki keperluan mendesak (untuk mengirimkan uang) di remittance, dan mempersilahkan Debt Collector tersebut untuk menunggunya di pelataran parkir sementara dia menyelesaikan urusannya. Dengan sopan, Debt Collector itu pun mempersilahkan teman saya untuk menyelesaikan urusannya. Setelah selesai di remittance dan mengkonfirmasi kondisi tersebut kepada rental mobil, teman saya mempersilahkan Debt Collector untuk membawa mobil tersebut pergi. Namun ternyata Debt Collector itu tidak membawa tanda bukti penyitaan kendaraan. Akhirnya Debt Collector tersebut meminta teman saya untuk ikut bersamanya ke kantor agen penagihan di daerah Sentul Timur. Cara mereka meminta cukup sopan, dan juga sebelumnya memperlihatkan IC, dan surat tugas. Mereka pun menjamin keselamatan teman saya, dan memberikan data identitas bos mereka, sekiranya teman saya ini ingin mengajukan complain. Sesampainya di kantor agen penagih hutang, rupanya mereka masih harus menunggu beberapa waktu untuk mendapatkan faks surat bukti penyitaan dari Bank Heong Leong. Dikarenakan waktu menunggu cukup lama, maka sang Debt Collector itu menawari rekan saya untuk makan dulu di kedai makan di sekitar kantor tersebut. Singkat cerita, setelah mendapatkan surat bukti penagihan, sang Debt Collector menawarkan untuk mengantarkan teman saya sampai kantor di daerah KLCC. Namun teman saya menolak dengan halus, dan minta diantarkan sampai mendapatkan taksi terdekat. Sang Debt Collector juga tak lupa memberikan kartu nama dan mempersilahkan sekiranya atasan atau pihak kantor kami ingin mengkonfirmasi mereka perihal keterlambatan rekan saya ini dari jam istirahat makan siang. Sesampainya di kantor, rekan saya pun berbagi cerita dengan sesama rekan sejawat. Terang saja hal ini menjadi "trending topic" diantara kami sore itu. Dan kami pun berbagi cerita mengenai pengalaman kami "berkenalan" dengan Debt Collector di Indonesia.. Tetapi diantara "sharing session" tersebut, seorang rekan saya yang lain, sebut saja A, menceritakan pengalaman uniknya di Indonesia. Bukan dengan Debt Collector, namun dengan Polisi/ PJR (Patroli Jalan Raya) tol Cipularang. A menceritakan kisahnya yang terjadi sekitar tahun 2005 di tol Cipularang. Konon saat itu A dan ketiga rekannya sedang berkendara dari Jakarta menuju Bandung di malam hari. Kondisi cuaca yang hujan membuat jalanan menjadi licin, dan sangat disayangkan, menyebabkan kendaraan yang ditumpangi ketiganya mengalami kecelakaan di jalan tol tersebut, tepatnya di turunan sekitar lebih kurang 50 meter dari pintu tol Jatiluhur. Kendaraan tergelincir ke sisi kiri bahu jalan dan akhirnya terlempar dalam posisi terbalik, dengan ketiga penumpang didalamnya. Sekitar 30 menit kemudian sebuah mobil PJR datang dan berhenti di dekat mobil rekan saya yang sedang terbalik tersebut. Ketika itu A bersama supir mobil tersebut telah berhasil merangkak keluar melalui jendela supir, dan sedang membantu seorang lagi rekannya yang duduk di bangku belakang. Seorang anggota PJR turun namun tidak membantu, hanya menyaksikan saja. Ketika ketiganya sudah berhasil keluar, anggota PJR tersebut menghampiri A dan langsung menanyakan mengenai STNK mobil tersebut, tanpa ada sedikitpun "basa-basi" mengenai kondisi ketiga orang penumpang mobil apes tersebut. Setelah mendapatkan STNK mobil, anggota PJR tersebut selanjutnya langsung mengontact "rekanan" mobil Derek untuk segera men-derek mobil yang terbalik tersebut menuju pintu tol Sadang. Selanjutnya anggota polisi tersebut membawa STNK mobil dan meminta sang pengemudi mobil agar menyelesaikan "masalah administrasi" di pos kepolisian dekat dengan pintu tol Sadang. Ketiga penumpang mobil naas tersebut pun ditinggalkan untuk menunggu mobil derek "rekanan" sang polisi, sekaligus bersama mobil naas yang masih dalam posisi terbalik. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, ditambah lagi rumahnya runtuh. Mungkin pribahasa itulah yang paling sesuai dengan keadaan A dan kedua rekannya itu. Sesampainya di kantor polisi dimaksud, derek rekanan polisi meminta "uang jasa" penderekan Rp 600 ribu. Tidak hanya itu, anggota PJR pun "menuntut" pengemudi mobil itu untuk membayar "uang pengganti kerugian" atas rusaknya marka jalan, sebesar Rp 1,5 juta. Apabila tidak dibayar saat itu maka STNK akan ditahan dan konon PJR akan melakukan penuntutan pidana pada pengemudi tersebut. Akhirnya dengan berat hati, ketiga penumpang mobil naas pun harus patungan merogoh kocek untuk membayar "denda" tersebut. Apakah cukup sampai disitu? Rupanya anda salah.. Polisi bersama derek rekanan selanjutnya "menawarkan jasa" untuk men-derek mobil naas tersebut sampai bengkel di Jakarta. Awalnya "niat baik" ini ditolak oleh pengemudi mobil, dikarenakan mobil tersebut sudah diasuransikan pada asuransi ASTRA. Selain itu sang pengemudi telah menghubungi derek resmi ASTRA Bandung, dan mendapat informasi bahwa derek resmi ASTRA akan sampai dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Namun, petugas PJR tersebut tetap "mendorong" sang pengemudi untuk menggunakan bengkel rekanannya, sembari berujar dirinya tidak bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu di jalan, bilamana dirinya tidak menggunakan derek rekanannya. Sang derek rekanan pun dengan PD-nya tetap menunggu didekat lokasi tersebut, meskipun telah diberitahu sebelumnya bahwa mereka tidak akan menggunakan jasa derek tersebut. Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya derek resmi ASTRA pun datang. Namun ketika hendak memasang alat dereknya, seorang anggota derek rekanan beserta anggota PJR menghampiri petugas derek ASTRA. Mereka ber-empat pun terlibat dalam suatu diskusi serius selama sekitar 15-20 menit. Entah apa yang dibicarakan. Setelah itu petugas derek ASTRA pun tak jadi memasangkan alat derek di kendaraan naas tersebut. Rekan saya menghampiri dan menanyakan kenapa tidak jadi dipasang, dan dengan muka pucat, petugas derek ASTRA itupun berujar "lebih baik Bapak menggunakan jasa derek itu untuk keamanan Bapak sendiri, saya ga berani Pak, karena saya hanya buat kerja saja". Dengan demikian, mau tidak mau akhirnya rekan saya bersama kedua temannya menyetujui penggunaan jasa derek rekanan Polisi tersebut, untuk menderek mobilnya dari Sadang sampai ke Jakarta, dengan biaya yang cukup menguras kantong, hanya Rp 2 Juta saja. Total biaya yang dihabiskan adalah Rp 4,1 Juta (Rp 600 ribu derek lokasi - Sadang;Rp 1,5 Juta "denda"; dan Rp2 Juta biaya derek Sadang - Jakarta). Preman vs Penegak Hukum Inilah ironi hidup di Jakarta yang keras. Mungkin hal ini tidak berlaku dalam semua kasus, namun apabila dibandingkan hanya kedua kasus ini, maka saya pribadi menjadi kebingungan, mana yang penegak hukum dan mana yang preman. Bahkan seorang Debt Collector yang jelas tergolong preman saja, dalam melakukan penyitaan masih memiliki nurani untuk tidak mempersulit rekan saya, yang memang tidak tahu menahu mengenai persoalan hutang piutang terkait. Tetapi di negeri sebelahnya, sang penegak hukum dengan tegasnya "menegakkan" hukum yang berlipat ganda bagi warga negaranya yang sedang ditimpa musibah. Ya Allah, ampunilah dosa2 kami dan dosa para pemimpin kami. Dan berilah kami petunjuk, kekuatan serta kemauan untuk merubah keadaan kami hingga menjadi lebih baik lagi, Amin YRA. P/S: Kedua kejadian tersebut adalah kejadian nyata yang ditulis berdasarkan wawancara penulis dengan narasumber yang tidak ingin disebutkan identitasnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline