Rasanya sudah begitu lama tidak menulis di platform ini lagi, setahun sudah ternyata sejak terakhir kali mengomentari Daniel James-nya MU.
Apa yang saya tulis ini cukup berbeda dan entah mengapa saya merasa bahwa hasil 'bacaan kilat' ini harus disebarkan, mungkin ada sedikit manfaat yang bisa diambil pembaca. Sebelum dilanjutkan, perlu saya klarifikasi bahwa saya bukan motivator, penulis handal ataupun kritikus buku sehingga ini murni opini pribadi hasil menikmati isi buku saja.
Judulnya adalah 60 Cara Pengembangan Diri karya Martha Mary McGraw, sebuah buku yang diterbitkan oleh Kanisius Yogyakarta pada tahun 1987. Sudah cukup tua, terlihat dari bentuknya. Namun isinya tetap dapat relate kok dengan kondisi kehidupan saat ini, terutama mungkin untuk yang sedang dalam fasa transformasi dari yang tadinya 'hidup dibayari' ke 'hidup silahkan ditanggung sendiri'.
Buku ini memulai dengan menyatakan bahwa setiap manusia itu unik, dimana tidak ada satu pun orang lain yang akan sama dengan kita. Sesuatu yang sungguh benar adanya tetapi entah mengapa buat saya ini cukup normatif ya karena mungkin sudah saya temukan dibanyak tulisan yang pernah saya baca sebelumnya. Jadi saya tidak menulis resensi ya kali ini tetapi lebih ke poin yang relate dengan saya saja hehehe.
Penulis mulai 'menyentuh' saya ketika memunculkan rekomendasi untuk memulai diri berdiskusi dengan orang lain tentang ide, visi serta pengalaman. Namun poin pentingnya bagi saya bukan disana tetapi ketika dilanjutkan dengan rekomendasi untuk tetap tersenyum selama mendengarkan dalam diskusi tersebut.
Khusus ketika berdiskusi tentang sebuah ide dan visi, tak pelak terkadang saya terbawa ego untuk memenangkan sebuah gagasan atau 'khilaf' dengan menjadi seorang ad hominem yang lebih memperhatikan siapa lawan bicara saya ketimbang apa gagasannya. Padahal seorang yang tidak lulus SD pun sudah banyak membuktikan diri lebih hebat dari seorang sarjana.
Tidak ada strata seharusnya dalam sebuah diskusi, selama gagasan yang dimunculkan logis dan dapat dipertanggungjawabkan. Eh, dipertanggungjawabkan atau dipertanggung jawabkan ya yang benar?
Tersenyum saya artikan bukan menjadi simbol kepalsuan tetapi adalah dengan melunakkan hati untuk mendengar gagasan orang lain dengan pikiran jernih dan hati yang terbuka.
Selain itu dalam buku ini, penulis juga mengingatkan bahwa menjadi orang yang menarik tidak selalu tentang apa yang kita pakai dan melekat pada diri secara fisik tetapi seberapa banyak kebaikan dan kasih kepada sesama yang telah kita lakukan. Ini mengetuk saya karena beberapa hari lalu saya baru saja menjawab salah satu user di Quora yang menanyakan pertanyaan bagaimana menjadi orang yang menarik.
Jawaban saya saat itu adalah hanya terbatas pada menjalankan hal-hal yang positif saja, belum mencapai level memberikan manfaat bagi orang lain. Ya terlepas dari jawaban tersebut yang nampaknya sudah cukup memuaskan sang penanya karena telah memberikan rating pada jawaban saya itu, saya mungkin akan menjawab dengan berbeda ketika pertanyaan itu kembali muncul disana sambil berharap orang tersebut membaca tulisan saya ini.