Lihat ke Halaman Asli

Mana Pilihanmu?

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi pribadi

[caption id="attachment_99986" align="alignright" width="300" caption="Koleksi pribadi"][/caption]

Pernah mendengar kata-kata : “Ah males gw, gak ada duitnya!” Saya sering banget lho, biasanya kata itu diucapkan seseorang yang merasa keberatan menjalankan tugasnya karena tidak ada bonus uang ketika ia menjalankan tugas itu, meski sebenarnya dirinya memang bertugas untuk hal itu. Lugasnya memang ia dibayar atau dipekerjakan untuk melakukan tugas itu.

Biasanya meskipun melakukan tugas itu, didasari karena terpaksa saja, dan bukan karena kesadaran dan tanggung jawabnya. Maka jangan heran kalau hasilnya pun cenderung tidak maksimal, bahkan bisa jadi berantakan. Padahal di luar sana, masih banyak orang yang setiap harinya merenung nasib karena belum mendapatkan pekerjaan, meski kemampuannya bisa jadi di atas pekerja yang setengah hati tersebut. Hanya karena kemujuran belum berpihak padanya.

Parahnya lagi sindrom “Males, karena gak ada duitnya” ini tidak hanya menghinggapi pekerja kelas akar rumput, namun juga menulari sampai ke pucuk-pucuk pimpinan. Entah itu pimpinan perusahaan, ataupun pimpinan/petinggi Negara. Padahal kalau diteliti lebih lanjut, penghasilan para pucuk ini sangatlah cukup, bahkan mungkin berkelebihan. Semua pengeluaran ditanggung, bahkan sampai membeli garam untuk urusan rumah tangganya. Jadi si pucuk ini bernafas pun sudah dibayar. Terus kenapa mereka bisa melakukan hal itu ya? Padahal secara pendidikan ok, secara keagamaan pun mereka termasuk orang yang rajin beribadah pada waktunya,

Saya punya teori seperti ini, mereka keliru dalam membedakan stimulus yang masuk, dan juga mereka lemah untuk menolak stimulus yang negatif sehingga dengan kehendak bebas (free will) mereka memilih untuk menerima stimulus yang negatif. Seperti tulisan saya yang terdahulu mengenai “Hidup Ini Adalah Pilihan” bahwa stimulus yang masuk itu ada dua : Positif (kebaikan, kesalehan) dan negatif (godaan, menjurus pada dosa). Kekeliruan dalam membedakan stimulus yang masuk atau pun kelemahan mereka bisa disebabkan karena mereka tidak hidup melekat (bukan sekedar dekat) dengan TUHAN. Mungkin saja mereka menjalankan kewajiban agama pada waktunya, namun sesungguhnya itu dilakukan sebagai sekedar kewajiban belaka dan bukan didasari karena mereka mencintai TUHAN. Karena kalau seseorang mencintai TUHAN, pasti mencintai Firman-NYA, mencintai larangan-NYA, yang akhirnya mewujud dalam segala tindak-tanduk mereka menjalani hidup.

Nah kalau kita ingin bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme, sebenarnya jawabannya hanya ada satu : Kembali mencintai TUHAN. Ini bukan hanya tugas para rohaniwan, tapi kewajiban kita semua. Namun sekali lagi kita memiliki kehendak bebas untuk memilih. Memilih untuk mencintai TUHAN atau menjauhi TUHAN. Mana pilihanmu?

Sumber : http://maribermakna.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline