Lihat ke Halaman Asli

Erica AuliaWidiani

Writer - Content Creator - Businesswoman

Sebuah Jantung

Diperbarui: 6 April 2021   16:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh Irina Elfin dari Pixabay 

Dewa sepertinya sudah harus tidur dengan cepat malam ini. Besok, dia harus pergi pagi buta untuk menemui Amara, gadis yang dijumpainya beberapa waktu lalu, yang meminta tolong padanya untuk menemaninya pergi ke sebuah bukit mencari sesuatu. 

"Besok kau harus sudah sampai di sini tepat pukul lima. Aku tidak mau terlalu sore untuk sampai di sana." Begitu permintaan Amara tadi pagi dan Dewa tentunya mengiyakan dengan pasti, menjanjikan bahwa sebelum pukul lima pagi dia sudah akan datang.

Sambil merapal doa, Dewa mengembarakan pikirannya menuju sebuah jalan panjang dengan Amara di sampingnya. Mereka berbincang dan sesekali Dewa menyelipkan beberapa helai rambut Amara yang bergelayut menutupi parasnya yang cantik. Amara mengingatkannya dengan gadis yang ditemuinya beberapa tahun lalu, yang juga memiliki rambut sebahu yang lebat. Gadis periang yang selalu menemani Dewa bermain di taman dekat rumahnya. 

Dulu Dewa masih sering sakit dan harus bolak-balik berobat untuk memperbaiki kondisinya. Hal itu membuat Dewa kehilangan teman. Hanya seorang gadis yang setia menemaninya bermain di taman dan pulang saat Dewa harus istirahat. Yang kemudian hilang saat dia berhasil sembuh. Yang kini, segala kesamaan dari gadis itu ia temukan dalam diri Amara, termasuk parasnya.

Keesokan  paginya, Dewa mengendap lewat pintu belakang untuk keluar rumah. Ia tidak ingin Ibunya tahu kalau ia keluar tanpa izin jika lewat pintu depan yang dekat dengan kamar Ibunya.  Entah kenapa, semenjak Dewa bertemu dengan Amara dan bercerita bahwa ia punya teman baru setelah sekian lama, Ibunya memarahinya. 

"Jangan berbicara lagi Dewa, tinggalkan mimpimu dan lewati harimu seperti biasa dengan Ibu." Kata Ibunya.

Setelah menutup pintu kembali, Dewa bergegas ke tempat dimana kemarin dia bertemu dengan Amara. Sesuai janjinya, Dewa datang 15 menit lebih awal. Sedang Amara datang jam lima tepat. "Ibumu tahu?" Dewa menggeleng. "Dia masih tidur di bawah selimutnya, Ra." Lalu mereka berangkat. 

Tidak ada kendaraan, hanya kaki mereka yang digunakan untuk berjalan cukup jauh. Lewat jalan beraspal, masuk hutan, menyebrangi rawa, sungai kecil dan ladang. Awalnya Dewa menyarankan untuk naik mobilnya agar sampai lebih cepat tanpa perlu lewat jalan pintas bagi pejalan kaki, tapi Amara menolak.

"Aku ingin menikmatinya, Wa. Tanpa roda."

Matahari berada tepat di atas kepala saat mereka sampai di kaki bukit yang mereka tuju. "Kenapa ke sini?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline