Lihat ke Halaman Asli

Legenda Desa Tunggorono

Diperbarui: 14 Februari 2016   15:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam cerita rakyat menyebutkan bahwa desa Tunggorono di kabupaten Jombang merupakan gapura keraton Majapahit bagian barat. Sedangkan gapura sebelah selatan batas wilayah kerajaan Majapahit ada di desa Ngrimbi (sekarang menjadi kecamatan Bareng), dimana sampai sekarang masih berdiri Candi Rimbi.

Sekilas cerita:

Ada seorang lelaki bernama Subanjar sebagai anak sulung dari dua bersaudara. Ayahnya bernama Cahyo Tunggal pemimpin Padepokan Tunggul Wulung yang disegani masyarakat. Saudara perempuan atau adik Subanjar bernama Sekar Dinulih. Subanjar terkenal bersifat brutal, suka berkelahi, menggoda wanita atau bahkan memperkosa dan membunuh tanpa merasa berdosa. Keluarga Subanjar resah, hingga akhirnya menyarankan Subanjar agar segera menikah. Namun, Subanjar menolak menikah sebelum dia menjadi orang yang benar dan sakti. Maka Subanjar berangkat bertapa di pesarean Asam Boreh.

Sementara itu, di pesarean Asam Boreh tersebut berdiam makhluk halus bernama Nyi Blorong dan Gendruwo Putih. Mengetahui ada manusia yang sedang bertapa, Gendruwo Putih langsung merasuki raga Subanjar, dengan maksud agar dapat memperistri Sekar Dinulih.

Lantas Subanjar pulang kembali ke rumah, ia mengutarakan keinginannya hendak menikah. Keluarganya gembira,namun tentu saja keinginan itu kandas karena yang hendak dinikahi adalah adik kandungnya sendiri. Subanjar tidak terima dan ia tega memukul ayahnya.

Sekar Dinulih melarikan diri karena dikejar oleh Subanjar. Ki Tunggo bertemu dengan mereka dan mencoba menghalangi niat Subanjar namun ia gagal. Subanjar juga sempat bertanding dengan Joko Piturun dan akhirnya ia bertemu kembali dengan ayahnya yang telah mendapatkan selendang pusaka dari Nyi Blorong. Dalam pertarungan kedua melawan Joko Piturun, Subanjar dikalahkan dengan sabetan selendang pusaka Jalarente yang dipinjam dari Cahyo Tunggal. Saat Subanjar jatuh, keluarlah Gendruwo Putih dari raganya yang seketika juga dihajar dengan selendang Jalarente. Subanjar telah sadar, maka ayahnya pun sadar jika ia juga telah bersalah karena memiliki sepasang anak laki-laki dan perempuan namun belum pernah meruwatnya.

Ternyata Tunggo itu nama orang (Ki Tunggo) yang pekerjaannya membuat rono (semacam sketsel dalam rumah). Karena dianggap telah menyembunyikan Sekar Dinulih di rumahnya, Ki Tunggo harus berhadapan dengan Subanjar (yang telah kerasukan Gendruwo Putih) sehingga Ki Tunggo tewas. “Suatu ketika nanti desa ini saya namakan Tunggorono,” ujar Subanjar. Itulah asal-usul daerah yang bernama Tunggorono di Jombang.

Berikut analisis saya mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat diatas:

1. Nilai Agama

· Pergi bertapa untuk memperbaiki diri dan mencari keputusan. Namun mungkin pada zaman sekarang kita lebih banyak melakunnya lewat introspeksi diri bukan bertapa dan sering kali memohon kepada tuhan guna mencari keputusan.

Hal ini dikisahkan dalam cerita yakni Subanjar sebagai tokoh utama yang berangkat berilmu/ bertapa ke pesarean mencari petunjuk atas saran ayahnya yang menyuruhnya segera menikah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline