Hampir dua bulanan menjadi warga pinggiran kota dan sebulanan menyandang gelar commuters rutin, membuat saya norak, bahwa bekerja di ibu kota itu perjuangannya sedini hari mungkin. Ya iyalah... namanya hidup pastilah lekat dengan perjuangan, kalau ingin leyeh - leyeh sesukanya & selamanya ya di surga nanti tempatnya.
Zona aman dan nyaman yang saya pernah rasakan baru saya sadari salah satunya saat saya berdiri menunggu KRL Commuter Line (CL) di Stasiun Citayam tepatnya di belakang garis kuning pada pagi hari sekali saat si kecil masih bubuk, setelah sholat shubuh. Ya kalo dibilang apakah jadi commuters baru - baru ini? nggak juga sih, hanya saja saat ini sudah resmi rutin menyandang gelar tersebut sejak berpindah "papan" bergeser ke pinggir ibu kota.
Memilih rumah di pinggiran ibu kota menjadi opsi banyak warga DKI meski harus rela membuang waktu lebih banyak lantaran jarak rumah dengan tempat kerja tidak dekat tetaplah dirasa lebih baik ketimbang membeli rumah di ibukota yang saat ini nominal rupiahnya menjerat leher, tangan, dan kaki (bagi saya). Selama ini adem - ayem mesam - mesem karena rumah dan tempat kerja jaraknya asik (terjangkau). Kalau dulu berangkat ke kantor bisa asoy geboy mepet jam masuk kantor, sekarang ya nggak bisa begitu, saat ini mulai pergi ngantor beda tipis jam-nya sama muadzin habis adzan shubuh karena kelar sholat harus berangkat ke stasiun mengejar CL (Duh segitunya tuh commuter jadi primadona)
Meski ada kebiasaan tak tertulis bahwa sebagai anak bontot sayalah yang menempati rumah ortu, tapi ada-lah keinginan punya gubuk adem sendiri, terlebih sudah berkeluarga dan mumpung bocah masih piyik. Bocah masih kecil aja sudah empot -- empotan membagi pos -- pos pengeluaran, apalagi nanti saat sudah tambah beranak - pinak?, nah kan... saya lupa bahwa Yang Maha Pemberi rezeki itu loas rezekinya.
Menyebut kata "Commuter Line" (CL) banyak gambaran yang lewat. CL memang salah satu transportasi yang sesuai dengan prinsip ekonomi, dengan harga minim bisa menjangkau banyak lokasi di ibu kota serta daerah sekitar dan pastinya mampu meminimalis waktu di jalanan ibukota yang bisa ber--jam-jam lantaran macet. Ditambah lagi rute CL yang selalu "hidup".
Contohnya CL dengan tujuan Bogor -- Jatinegara (dan sebaliknya), di hari kerja utamanya di jam - jam sibuk pasti padat dengan pribadi -- pribadi ber-kemeja, ber-blazer, atau ber-smart casual. Sedangkan di penghujung minggu, CL padat pula dengan mayoritas emak -- emak membawa anak untuk bertamasya ria (dan saya sudah merasakan semuanya alias emak -- emak ber-blazer #halah gak penting ya saiyah)
Menjadi commuters itu banyak rasa karena hal -- hal berikut :
1. Pas CL yang kita tumpangi masuk stasiun transit (tiba) dan CL yang akan kita tumpangi selanjutnya dengan asyik masyuk pamer lewat (pergi) #bersimpangan, apalagi kalau kondisi bangkunya itu kosssoongg. Duh duh duh duh... Rasanya saya pengen banget jenggut bpk. Masinis yang sedang bekerja supaya CL berhenti jalannya sambil menyuarakan kalimat "Ooooiiii buka pintunyaaaa... saiiyyyaahh mau naeeekk paaakk, pliiissss" hehehe :-D.
Tapi lain waktu bisa jadi CL yang akan kita tumpangi sudah menunggu, dan asyiknya lagi pas kondisi bangku masih ada yang kosong, duh senengnya... jadi pengen kaya' teletubies, berpelukaaannn....
2. Pas tau kalo pesaing kita sesama commuters dengan tujuan yang sama itu banyak bahkan sudah membludak, karena artinya kesempatan untuk mendapatkan tempat duduk tentu lebih kecil. Namun di saat yang lain bisa jadi pesaing kita sesama commuters dengan tujuan yang sama itu sedikit (ya namanya jadual kereta maklumlah bila ada telat -- telatnya dikit), karena artinya kita punya kesempatan lebih besar untuk mendapatkan tempat duduk yang kosong dan bisa santai saat masuk CL (gak main dorong -- dorongan dulu).
Cuman ya ketar ketir juga saat posisi lengang jadi deg -- degan, duh udah deh segini aja penumpangnya jangan nambah lagi..., lah namanya juga transportasi publik dengan massa banyak, ya wajarlah orangnya bejibun, ya nggak?