Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Rabu, 20 Mei 2015 merupakan perayaan tepat 107 tahun pertiwi dalam salah satu semangat Nasionalisme, Hari Kebangkitan Nasional. Momen tersebut diawali dengan berdirinya Organisasi Budi Utomo sebagai media yang digunakan kala itu dalam upaya Kemerdekaan Indonesia seutuhnya. Ia adalah penanda bahwa bangsa yang besar ini mau loh bersatu bukan perkara sama ras atau warna kulitnya, buka idem menyoal agama atau ideologinya, dan bukan pula atas dasar kesamaan adat atau bahasa daerahnya saja, tapi menjadi bagian utuh NKRI, Inheren dalam diri, bagian Republik Indonesia.
Sepakat dengan tulisan “Sekilas sejarah Kebangkitan Nasional” (oleh Yustina Hastrini Nurwanti) pada laman kebudayaan.kemdikbud.go.id saya bisa simpulkan substansi Kebangkitan Nasional adalah Kemauan Bersatu memajukan Negeri ini. Perihal berdirinya Budi Utomo hanyalah salah satu format fisik bahwa semangat persatuan, nasionalisme itu nyata diimplemetasikan. Gak neko – neko niat para pendahulu kita itu yah, hanya menginginkan Indonesia ini Raya! Se-sederhana itu, tapi extraordinary perjuangannya dan bermartabat cita-citanya.
Dan kini semangat yang dibawa mendarat sampai tahun 2015, masihkah estafet perjuangan menuju Indonesia Raya itu ada? Masih ada kok, hanya saja belum sempurna utuhnya, belum maksimal kuatnya, dan masih compang-camping tampilannya. Kok gitu? Rasanya pembaca mudah menemukan contohnya. Tidak usahlah digempur negara lain, lewat lempar kata dalam dunia maya saja bisa adu jotos ending-nya, tak perlu-lah tua usianya karena yang muda keseleo lidah sedikit saja bisa belajar mengangkat parang dalam perang antar sekolah akhirnya, tak perlu mencari haters bagi negeri ini karena RI pun sudah lazim di-bully warganya sendiri. Tak perlu menunjuk pembajak kekayaan negeri ini oleh negara lain karena NKRI sudah kenyang juga kok dimuslihati bangsa yang mengaku bertanah air Indonesia. Tak sulit menemukan penghuni pertiwi dengan level kesadaran yang harus di upgrade karena hal remeh temeh memberi tempat duduk pada jiwa prioritas saja ogah, enggan padahal dalam fasilitas umum!. Gak lebay ya bila saya sampaikan semangat besar itu jadi zero karena perkara buka-bukaan aib, keluh kesah, mengumpat, dan bahkan mencela suatu daerah hanya karena dia dalam antrian panjang SPBU saja jadi pajangan dalam galeri dan beranda medsos, lupa bahwa dirinya kan perlu direparasi soal kesabarannya juga.
Banyak “printilan” sikap yang jadi nyata keluar dari perilaku atau sikap Nasionalis, dan itu baru unit terkecil loh. Bisa dibayangkan godek – godek-nya pejuang terdahulu melihat penerusnya demikian. Darah anak bangsa dahulu dihargai dengan Kemerdekaan, saat ini? Kadang hanya menyoal asmara seseorang bisa pendek usia, perkara Bullying bisa dimaknai pemutus final sukses masa depan sehingga buat apa lagi-lah hidup di dunia?.
Ini bukan coretan dalam rangka kata-kataan dan tak ada pula tendensi maki-makian. Hanya ingin berbagi dalam penyampaian bahwa perayaan entah itu Kebangkitan Nasional, Hari Kemerdekaan, Sumpah Pemuda, atau peringatan hari lainnya yang lebih spesifik misalnya Hardiknas seolah selebrasi semata yang cukup sampai pada lisan saja. Soal etos kerja, disiplin diri, tanggung jawab, dan amanah sebagai makhluk yang manfaat bagi sesama kadang atau sering jadi retorika karena diri “suka” dengan “stempel” amnesia.
Ini pun bukan soal tugas atau melempar tanggung jawab siapa. Kesejahteraan menuju kenyamanan bangsa dan akhirnya ada bahagia bagi anak negeri kan juga ada dalam pikulan jiwa-jiwa yang mengaku bertumpah darah satu ini?. Renovasi hati dan diri harus jadi kegotong-royongan bagi siapa saja yang mengaku berbangsa Indonesia. Mulai saja dari hal kecil yang mampu ada maksimalkan bahkan bisa dari tindakan tidak meludah sembarangan, dan fokus pada tujuan baik anda misalnya dengan tindak menunda. Bila anda seorang Politisi ya Politisi yang Amanah, bila Dokter ya Dokter yang gak hanya bikin pasiennya sumringah karena jadi jalan sehat tapi mampu memotong perilaku pasien yang bikin dia kedepannya jadi gak sakit lagi, yang membuat dia punya kebiasaan untuk lama dalam sehat, atau anda dengan profesi llainnya yang berupaya kontinyu pada marka kebaikan.
Wah ngomong dan nulisnya sih enak ya tapi kan gak semudah itu? Hehehe tak ada yang mengumumkan hidup itu enak dan jauh panggang dari api kesulitan. Saya pun masih compang – camping dalam perkara kebaikan, ini sekaligus alarm buat saya agar terus semangat terlibat dalam Indonesia yang Utuh. Bila untuk kebaikan bahkan untuk diri sendiri saja dinego, lalu bahagia yang gemah ripah loh jinawi-nya itu loh kapan? Kan sama saja tak ingin melihat Indonesia menjadi Raya to?.
Terimakasih berkenan meluangkan waktu membaca yah :-)
Erlina Febrianovida
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H