Lihat ke Halaman Asli

Mari Mewariskan Hutang untuk Anak Cucu Kita

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13260357671341536963

[caption id="attachment_154257" align="alignnone" width="300" caption="ilustrasi : www.kompas.com"][/caption]

"Kita menargetkan untuk utang sebesar Rp 250 triliun di 2012. Itu dari penerbitan SBN (surat utang), sukuk, syariah, dan lain-lain. Termasuk Samurai Bond di dalamnya"

Oleh : Erfan Adianto

Apakah anda pernah berhutang? Katakanlah anda membeli rumah sebagai salah satu kebutuhan primer anda dengan uang muka tertentu dan mengalokasikan anggaran rumah tangga anda untuk membayar cicilan perbulannya sampai termin waktu tertentu. Bagaimanakah perasaan anda ketika cicilan tersebut sudah lunas, tentu bahagia sekali dan mungkin anda akan mengambil  cicilan kembali, kendaraan roda 2 atau 4 misalnya, tentu akan lain ceritanya jika kendaraan tersebut digunakan untuk hal-hal lebih produktif menghasilkan uang, tentu cicilan akan lebih terasa ringan. Tapi berbeda ceritanya jika ketika cicilan rumah belum lunas namun anda sudah mengambil cicilan lagi kendaraan roda 4 yang digunakan hanya untuk pamer-pameran dengan tetangga, tanpa memperhitungkan kondisi keuangan anda dan kesehatan anda, tentu kualitas hidup anda sekeluarga kemungkinan besar akan terganggu. Dan tentu jika terjadi musibah yang tidak diinginkan terjadi, bisa jadi anak-anak anda akan menanggung beban hutang anda.

Rupanya  Kabinet Indenesia Bersatu jilid II  melalui Kementerian Keuangan khususnya Direktorat  Jenderal Pengelolaan Utang, memilih terus menimbun hutang setiap tahunnya.  Barangkali saya terlalu naif untuk itu, lha wong di jajaran kabinet itu khan isinya orang pinter-pinter.

Setelah mendapatkan  kenaikan peringkat BBB- dari BB+ dari lembaga pemeringkat Fitch Rating yang  merefleksikan bahwa Indonesia cukup  kuat dan tangguh dalam  pertumbuhan ekonomi, rendah dan terus turunnya rasio utang publik, menguatnya likuiditas eksternal serta kerangka kebijakan makro menyeluruh yang lebih hati-hati  , memberikan rasa percaya diri yang kuat untuk membuat hutang baru sebesar  Rp 250 triliun pada tahun 2012 ini. Hal ini seperti dikatakan Dirjen Pengelolaan Utang akan digunakan untuk membiayai kegiatan dan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi mengingat rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto  masih kecil yaitu sekitar 28,2 %

Disisi lain, hutang Republik Indonesia Raya yang gemah ripah loh jinawi dan kaya dengan sumber daya alam ini per November 2011 sudah  mencapai  Rp 1.816,85 triliun. Padahal sebagian besar hutang-hutang tersebut (45%) dalam valas seperti dollar, euro dan yen, apabila rupiah tidak stabil karena goncangan ekonomi global, rasio hutang terhadap PDB tentu akan melonjak dengan pesat dan pasti akan berimbas terhadap roda ekonomi nasional. Namun pemerintah kita tampaknya optimis sekali dan percaya diri menghadapi krisis global yang sudah di depan mata.

Absurditas lain adalah adanya Saldo Anggaran Lebih  (SAL) tahun 2011 yang merupakan akumulasi dari selisih lebih pembiayaan anggaran (silpa) tahun-tahun sebelumnya diperkirakan mencapai Rp96,6 triliun. Hal ini membuktikan  tingkat penyerapan belanja pemerintah hanya Rp1.289,6 triliun atau 97,6% dari pagu yang ditetapkan. Pertanyaannya adalah untuk apa menambah hutang jika penyerapan anggarannya saja tidak 100% ? Apalagi jika penggunaan anggaran tersebut tidak sepenuhnya untuk menggerakkan perekonomian negara apalagi biaya untuk membayar  bunga hutang saja sebesar Rp 93,3 triliun pada tahun 2011. Andaikan uang sebanyak ini dialokasikan untuk sektor pendidikan, kesehatan, pertanian, nelayan dan usaha kecil dan menengah tentu akan meningkatkan produktifitas nasional dan tentu saja menaikkan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi.

Entah mengapa pemerintah pada sektor penerimaan tidak mengambil opsi untuk meningkatkan penerimaan pajak, seperti yang kita tahu target penerimaan pajak tahun 2012 sebesar Rp 1.019,3 triliun, mestinya dapat ditingkatkan lebih tinggi lagi. Kasus Gayus Tambunan sebenarnya merupakan cerminan betapa potensi pajak perusahaan korporasi yang hilang karena “bocor” cukuplah besar.

Pada sektor pengeluaran dua elemen penting untuk menekan pengeluaran adalah

1.Menekan kebocoran karena anggaran dikorupsi oleh aparat pemerintah yang tidak bertanggung jawab tentu dengan pelibatan Inspektorat Jenderal , Badan Pemeriksa Keuangan dan KPK secara profesional (salah kaprah lagi kalau ketiga lembaga itu diajak ikut “bermain” menggerogoti uang rakyat)

2.Mengurangi bahkan menghilangkan perjalanan dinas pejabat tinggi negara pada semua lembaga negara yang tidak perlu dan tidak jelas outputnya.

Dengan melakukan 3 langkah sederhana ini ditambah cadangan devisa di akhir 2011 lalu tercatat sebesar USD 110,12 miliar,  minimal pemerintah tidak perlu manambah hutang setiap tahunnya untuk menutup defisit anggaran berjalan  yang kelak akan diwariskan untuk anak cucu kita, entah kapan akan dapat terlunasi . Rupanya pejabat pejabat kementerian keuangan kita dan wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat sana lebih pinter-pinter dari pada rakyatnya yang ndeso dan bodoh, termasuk yang menulis postingan ini. Lha wong hutang kok ditarget dan bangga.

Harapan penulis, semoga pembaca tidak terjebak dengan judul postingan ini.

Pasar Minggu, 9 Januari 2012

Salam hangat Kompasiana

Tulisan tulisan saya yang lain di Kompasiana:

Jakarta-Heidelberg, Dari Batik Sampai Bertemu Pak Habibie, Sebuah Catatan Perjalanan

Satuan Pengamanan, Beda Institusi Gedung Beda Perlakuan

Saudara Flu Telah Datang

Masih Relevankah Anda Dan Saya Membayar Pajak?

Bung Karno…Bangsamu Memang Bangsa Tempe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline