Lihat ke Halaman Asli

Bung Karno...Bangsamu Memang Bangsa Tempe!

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1299189680219979448

“Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita,” (Bung Karno)

Saya teramat yakin ungkapan Bung Karno itu tidak bermaksud untuk merendahkan harkat dan martabat bangsanya dan rakyatnya, namun semata-mata untuk memacu bangsanya untuksenantiasa bekerja keras mewujudkan impian menjadi bangsa yang sejahtera lahir dan batin serta mandiri.

Karena Bung Karno menyinggung nyinggung tempe, mari luangkan waktu sejenak belajar bersama tentang per-tempe-an. Jika anda pernah jalan-jalan berada di sekitar Banyumas Jawa Tengah, jangan pernah lupakan untuk mencicipi tempe Mendoan, tempe khas Banyumas yang enak dimakan saat siang atau sore hari dengan dicocol saus kacang dan cabai merah dan tentu saja disandingkan dengan teh nasgitel atau teh panas legi kenthel. Tempe, sebuah makanan lauk pauk ataupun camilan yang sangat terkenal di Indonesia khususnya pulau Jawa. Tempe terbuat secara umum dari biji kedelai yang difermentasikan oleh apa yang disebut dengan “ragi atau kapang tempe”. Selain harga yang terjangkau, tempe juga mengandung gizi tinggi dan mengandung anti oksidan untuk melawan radikal bebas. Dan ternyata? Tempe sudah ada sejak abad 16 utamanya di kerajaan Mataram. Saat ini tempe sudah menyebar sampai ke mancanegara seperti Belanda, Amerika Serikat dan Jepang.

Kedelai merupakan bahan baku utama tempe. Lebih dari 50 persen kebutuhan kedelai digunakan untuk pembuatan tempe. Kedelai juga merupakan komoditas pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Namun tahukah anda bahwa ternyata Indonesia sudah menjadi pengimpor kedelai sejak tahun 1976? Walaupun sempat membukukan produksi tertinggi pada tahun 1992 yaitu sebesar 1.88 juta ton akan tetapi produksi kedelai makin turun dari tahun ke tahun, dan diperparah dengan desakan IMF pada tahun 1998 kepada Indonesia untuk membuka kran impor kedelai secara bebas artinya monopoli impor sudah tidak diberikan lagi oleh Bulog.Disusul pada tahun 2000yang terkait dengan keputusan pemerintah pasca reformasi dan desakan pemerintah Amerika Serikat (sebagai produsen kedelai terbesar di dunia) yang akan memberikan kredit lunakkepada importir yang bersedia mengimpor kedelai dari AS berupa kredit tanpa bunga sampai enam bulan, maka semakin merosotlah produksi kedelai tanah air.

Catatan perjalanan waktu bangsa ini menorehkan bahwa hanya untuk urusan bahan baku tempe yang merupakan lauk pauk kegemaran masyarakat ini saja sulit sekali untuk mandiri. Belumlah kita berbicara tentang beras dan garam yang saat ini memerlukan pasokan dari luar negeri alias import. Menurut hemat saya, dengan melakukan import komoditas pangan adalah langkah yang paling mudah, instan dan tanpa kerja keras dari pada harus memproduksi sendiri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, saya pun menduga pemerintah saat ini mempunyai pola pikir yang demikian dengan segudang argumentasi pendukungnya.

Ketergantungan akan import komoditas pangan merupakan indikasi ketahanan pangan negeri ini patut dipertanyakan, imajinasikan negara-negara pengeksport komoditas pangan yang selalu menjadi gantungan negeri ini tidak dapat lagi memasok komoditasnya karena gangguan cuaca ekstrem misalnya atau tiba-tiba mengalihkan lahan pertaniannya menjadi komoditas lain yang lebih menguntungkan menjadi bahan baku biofuel misalnya. Maka dapatlah terjadi krisis pangan di negeri ini, akibatnya..hemm saya dan anda dapat menduganya.

Dengan luas daratan 1,92 juta km persegi dan jumlah penduduk 237 juta jiwa Indonesia merupakan negara yang potensial dalam mengelola dan memenuhi kebutuhan komoditas pangan, sekaligus potensial dalam mengkonsumsinya atau dapat dikatakan negara yang mempunyai potensi pemasaran yang baik asal dikelola oleh pemerintah dan birokrasi yang sanggup bekerja keras mewujudkan kemandirian bangsa tanpa mental cengeng, korup dan berorientasi instant semata.Budaya suap, korup dan lebih memilih dilayani daripada melayani (walaupun saya yakin tidak semuanya bermental demikian), merupakan mental birokrasi yang harus dikikis habis untuk segera mewujudkan kemandirian bangsa dalam segala hal. Kondisi ini semakin diperparah oleh elite politik yang meributkan hal-hal yang tidak substansial untuk kesejahteraan masyarakatnya alias pepesan kosong belaka. Dan menjadi hal yang salah kaprah apabila masyarakatnya mencontoh mental-mental buruk tersebut, atau bahkan sebaliknya? Mental birokrasi adalah cermin masyarakatnya?

Sambil makan tempe goreng yang berbahan baku kedelai import, saya pun mendengar lamat-lamat Bung Karno menangis dalam peristirahatannya.....

Ilustrasi : penasoekarno.files.wordpress.com

Salam Kompasiana

Erfan Adianto

Seorang buruh biasa

Postingan lain saya di Kompasiana

Di Belakang Tabrakan Beruntun

Kesenjangan Ekonomi,Realitas dan Tantangan Indonesia!

Jangan pernah Meremehkan Militer Indonesia!

Sudah Menyerahkah Indonesia Terhadap Korupsi?

Memilih Untuk Bahagia




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline