[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (indomiliter.wordpress.com)"][/caption] “Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki,membuka jalan untuk lawannya: diktator” (Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman)
Mercermati episode-episode kasus hukum yang menjadi sorotan publik dan tak kunjung usai seperti mafia hukum, mafia pajak dan entah mafia-mafia lainnya, utamanya sinetron besar Centurygate yang entah kapan lagi akan usai, yang merupakan sebuah kenyataan bahwa penuntasan skandal lama terbelenggu dan terimpit oleh munculnya skandal baru. Banyak kejadian menunjukkan, munculnya skandal baru seperti sengaja didesain untuk menutup skandal lama.Hal ini memunculkan aksi-aksi perlawanan yang dapat dibilang belum cukup masif untuk melakukan perubahan saat ini. Setelah para tokoh agama episode paling akhir adalah munculnya Gerakan Rakyat Anti Mafia Hukum (Geram) yang diinisiasi oleh beberapa cendekiawan semisal Zainal Arifin Mochtar dan Anies Baswedan. Tapi hal ini dapat saja diindikasikan sebagai bentuk ketidakpuasan masyarakat sipil terhadap pemerintahnya.
Untuk mengukur tingkat kepercayaan atau keyakinan publik, tentu harus terukur dengan survey. Survey dari harian Kompas yang dipublikasikan pada tanggal 24 Januari 2011, sekurang-kurangnya menunjukkan betapa turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintahan KIB jilid 2.
Walaupun pada catatan kaki tentang metode jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh masyarakat, namun sekurang-kurangnya dapat menilai keyakinan responden terhadap kemampuan pemerintah menyelesaikan permasalahan di bidang ekonomi, hukum, kesejahteraan sosial dan politik & keamanan. Dan hasil dari jejak pendapat ini menunjukkan tingkat keyakinan responden yang mengalami penurunan jika dibandingkan pada saat 3 bulan pertama pemerintahan KIB Jilid 2.
Lantas apa yang akan terjadi jika tingkat keyakinan publik semakin hari semakin menurun, karena tiadanya upaya kepemimpinan nasional melakukan langkah-langkah radikal untuk menaikkan popularitas pemerintahannya atau katakanlah menyelesaikan kasus-kasus yang menjadi perhatian publik? Terlepas dari sanggahan bahwa jejak pendapat hanya golongan tertentu saja yaitu golongan masyarakat yang mempunyai telepon dan belum menyeluruh mewakili seluruh golongan masyarakat, namun janganlah menjadi teledor karenanya. Mari kita lihat kembali gerakan-geralakan kecil ketidak puasan itu.
Ketika ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintahan muncul dan dimanifestasikan dalam aksi demonstrasi belum tentu akan menarik atau merebut simpati massa secara massif, apalagi aksi-aksi demonstrasi itu malah membuat kemacetan lalu lintas yang menambah beban warga pengguna jalan raya. Namun akan berbeda ceritanya jika parameter ekonomi mendukung aksi-aksi demontrasi itu yaitu tingkat inflasi tinggi, naiknya harga-harga kebutuhan bahan pokok utamanya pangan dan tentu saja diiringi dengan menurunnya daya beli masyarakat secara massif apalagi diiringi dengan pemutusan hubungan kerja secara massal pula. Masih ingatkah ketika ibu-ibu berdemonstrasi mengecam kenaikan harga susu bayi menjelang jatuhnya rezim Orba 1998?
Sebelum sampai pada situasi chaos yang memungkinkan militer akan mengambil peran secara langsung, alangkah bijaksana kita kembali ke sekelumit sejarah negeri ini. Sejarah negeri ini saat terjadi pergantian kepemimpinan nasional seperti 1965-1966 dan 1998, tidak pernah lepas dari peran militer. Peran disini bukan berarti memberikan efek negatif, hal ini sangat bergantung pada situasi dan konsisi saat itu. Seperti kita tahu bersama medio 1965-1966 melahirkan rezim Orde Baru yang cukup lama bertahan dengan topangan militer, birokrasi dan Golkar.Pergantian pucuk kepemimpinan nasional era 1998 pun peran penempatan posisi Jenderal Wiranto selaku PanglimaABRI masa itu bagaimanapun sangat penting sebagai jalan mulusnya transformasi kekuasaan dari Soeharto kepada BJ Habibie. Bahwa peran dan dukungan militer sangatlah besar untuk sebuah kekuasaan terbukti sesaat menjelang Presiden Abdurahman Wahid hendak mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen dan mempercepat reformasi di tubuh militer Indonesia. Saat itu 2 hal pemikiran Gus Dur banyak mendapat resistensi dari kalangan militer sehingga dekritpun yang dikeluarkannyapun hanya sekedar dekrit kosong dan pergantian kepemimpinan pun terjadi. Catatan untuk paragraf ini adalah militer tidak menjadi satu-satunya aktor dibalik terjadinya pergantian kekuasaan, masih banyak sebab sebab lain yang mengiringi pergantian kekuasaan di negeri ini.
Apabila situasi chaostik terjadi di republik ini akibat dari kegagalan politik masyarakat sipil dan pemerintah dalam mengelola konflik sosial, politik, ekonomi dan hukum saat ini, dan tersumbatnya artikulasi politik masyarakat melalui DPR karena politik transaksional, tidak tertutup kemungkinan militer akan kembali ke panggung politik Indonesia. Walaupun sudah melepaskan doktrin dwi fungsinya, namun peran militer sebagai penjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit akan tetap berada dalam garda terdepan menyelamatkan republik ini dalam situasi yang chaos. Alasan inilah yang akan menjadi pembenaran militer kembali ke ranah politik.
Bercermin dari pergantian rezim Tunisia dan bergolaknya Mesir saat ini, militer mempunyai 3 pilihan apabila negeri ini dalam keadaan chaos, yaitu pertama mengambil alih secara langsung kekuasaan yang ada sekarang karena sudah tidak dipercaya masyarakat, kedua meminta kepada penguasa saat ini untuk menyerahkan kekuasaan pada pemerintahan transisi sipil dan yang ketiga adalah militer tetap mempertahankan rezim yang ada dengan transaksi politik tertentu. Apabila ditinjau dari sisi kekuasaan, tentu pilihan pertama adalah pilihan yang paling diinginkan, karena memegang tampuk kekuasaan tertinggi memberikan keleluasaan mengatur segalanya bahkan memungkinkan untuk mengeluarkan aturan keadaan darurat, dekrit apa saja termasuk kembali ke pada UUD 1945 yang multitafsir selayaknya pada rezim Orde Baru digunakan untuk mengesahkan kepemimpinan nasional terus menerus. Pilihan kedua adalah pilihan kudeta secara halus oleh pimpinan militer namun sangat bergantung oleh sikap dan integritas militer terhadap demokrasi dan supremasi sipil. Adapun pilihan ketiga yaitu tetap mempertahankan rezim yang ada dengan transaksi politik tertentu adalah pilihan paling pragmatis yang mungkin diambil oleh institusi militer. Variabel lain dari ketiga pilihan ini adalah kepentingan asing. Jika pasca peristiwa politik medio 1965-1966 kiblat ekonomi menjadi ke barat dan pasca medio 1998IMF masuk ke Indonesia dengan serangkaian liberalisasi ekonominya, maka jika situasi republik ini chaos kembali maka tentu ada lagi kepentingan-kepentingan asing yang akan dimasukkan lebih dalam lagi jika bangsa ini tidak mengenalinya atau mewaspadainya.
Ketiga pilihan ini semuanya memberikan peluang militer kembali ke kancah kehidupan politik dan hal ini adalah salah satu dampak lemahnya institusi dan supremasi masyarakat sipil dalam mengelola konflik politiknya. Maka sungguh masuk akal jika kekuatan masyarakat sipil yang saat ini masih mencari posisi strategisnya dalam mengkritisi kebijakan pemerintah perlu melakukan kalkulasi politik ulang agar tidak terjerembab pada lubang yang sama untuk kesekian kalinya. Sejarah adalah repetisi pengalaman-pengalaman. Tapi jika Indonesia terperosok ke lubang hitam yang sama secara telak, mungkin karena bangsa ini tidak benar-benar belajar dari sejarah yang benar.
Dan terdengarlah anak saya sedang berlatih menyanyi: “Aku seolang kapiten....mempunyai pedang panjang...kalau berjalan plok..plok..plok...aku seolang kapiten....”,
Salam Kompasiana
Erfan Adianto
Seorang buruh biasa
-0-
Postingan saya yang lain di Kompasiana
Sudah Menyerahkah Indonesia Terhadap Korupsi?
Upaya Menutupi Anggaran Perjalanan Dinas Pejabat Tahun 2011
Dibalik Skenario Pembebasan Bea Masuk Impor Bahan Pangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H