Lihat ke Halaman Asli

Erenzh Pulalo

Akun Baru

Dimana Hak Kami?

Diperbarui: 8 Juli 2024   13:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mama-mama Papua yang berjualan ditempat parkir Pasar Baru Sentani | dokpri

Kata "Terlupakan" terus tergambar di wajah cenderawasih ketika pemilik hak ulayat harus mengemis di tanah yang katanya tanah penuh hasil kekayaannya. 

Apakah Otonomi Khusus atau Otsus hanya nyanyian semata, yang dinyanyikan jika dibutuhkan. Setelah itu hilang sekejap tanpa aroma dan bayangan.

Situasi terlupakan terus dirasakan oleh masyarakat asli Papua, ketika mereka ingin mendapatkan sejahtera namun diberikan harapan palsu bagi para kepentingan politik. 

Ketika publik Konoha dikagetkan dengan jumlah triliunan yang tiap tahun masuk ke khas Pemprov Papua, pemikiran mereka Papua sudah bisa berdiri sendiri bahkan sudah sekelas sebuah negara baik pembangunan dan insfrastrukturnya. Namun apadaya ketika cerita dongeng masih diperankan terus oleh mereka yang memiliki dompet sebesar danau Sentani. 

Kami tak memiliki pekerjaan yang tiap bulannya mendapat amplop coklat, kami berjalan dan tidur diatas emas, tapi tak bisa berharap lebih seperti berharap aroma Otsus yang sekejap lewat dan hilang tanpa pamrih, kami hanya bisa berusaha hingga keluarnya tetesan keringat dan darah dengan bermodal potongan karung bekas dan kami meletakkan hasil usaha kami. 

Kami sudah berusaha semampu kami dengan kekuatan yang diberikan oleh Sang Pencipta guna membiayai sekolah anak-anak kami yang tiap saat terus melonjak naik, juga ingin membeli sebutir beras agar kami bisa makan nasi. Namun dimana hak kami? 

Kata kalian kami akan menyediakan pasar agar kalian bisa berjualan untuk memperlancar kegiatan perekonomian daerah. Persetan semuanya, Mana pasar kami? Tiap hari kami hanya melantai berjualan ditempat parkir. Kami sudah terbiasa dengan dingin kabut di pagi hari dan kami sudah lebih terbiasa gosong di siang hari. Dimana hak kami? 

Jangan rampas hak kami untuk kantong pribadi, jangan menjual kami untuk perut kalian dan menyiksa kami dengan keadaan cuaca. 

Kalian terlalu enak pergi senayan untuk menjual tanah leluhur kami, kepada media kalian memberontak demi tanah Papua, namun ternyata itu permainan judimu untuk saku pribadi. 

Tolong perhatikan kami yang masih mau terus bekerja demi sepersen koin, kami sudah capek tiap hari menghirup aroma sampah di sekeliling kami, kami rela berdamai dengan matahari asalkan anak-anak kami bisa sekolah dan kami bisa membeli makan untuk perut kami.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline