Lihat ke Halaman Asli

Cermin Antik

Diperbarui: 30 Juli 2016   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: www.rahmadewifurniture.com

Sepertinya Tuhan tengah menghukumku, Dia tumbuhkan rasa cinta, namun cinta itu mustahil untuk kumiliki.

 

"Agak ke kiri sedikit pak, ya.. disitu." Aku memicingkan mata untuk memastikan letak cermin antik yang tadi siang aku beli sudah tepat. Perfect.

Usai memberikan ongkos ke pegawai toko barang antik sekalian tip karena telah membantuku memasang cermin, aku kembali ke kamar tidur dimana kaca yang kira kira setinggi 1,5 m dengan lebar 1 m itu aku letakkan.

Siang tadi saat aku tengah jalan jalan dan mampir ke sebuah toko antik yang kebetulan aku lewati , aku langsung jatuh cinta dengan cermin yang pinggirannya dihiasi ukiran kayu dengan motif bunga dan daunnya itu. Kesan kuat dan antik juga terlihat dari pinggiran cermin yang terbuat dari kayu jati berwarna coklat tua.

Usai membersihkan diri, aku mematut diri di depan cermin baruku. Gaun tidur dari sutra berwarna putih gading membuat kulit putihku terlihat semakin cerah. Rambut panjangku yang berwarna hitam alami aku biarkan terurai. Sebenarnya, aku terlihat cukup cantik, tapi entah kenapa kok sampai sekarang, di usia yang hampir kepala tiga, aku masih belum menemukan pasangan hidup.

Aku melihat kembali bayanganku di dalam cermin dan terbelalak tak percaya karena kaget. Bagaimana tidak, disana, aku melihat bayanganku sendiri, tapi bukan mengenakan gaun tidur berwarna putih gading, namun mengenakan baju seperti yang pernah aku lihat di buku buku sejarah, baju kebesaran seorang putri raja. Aku mengerjapkan mataku, menguceknya berulang ulang, namun bayangan di dalam cermin tetap tak berubah. Aku panik, pikiranku memerintah kakiku untuk lari, namun kakiku seperti terbenam di dalam tanah. Aku pingsan.

"Tuan putri, tuan putri Ambarwati baik baik saja?" seorang wanita tua dengan rambut disanggul di belakang dan mengenakan pakaian model kuno mengguncang guncang tubuhku.

"Iya, namaku Ambarwati, tapi aku bukan tuan putri. Dimana aku? siapa kamu?"

"Tuan putri, hamba dayang Asih. Pengasuh tuan putri sejak bayi, bagaimana mungkin tuan putri lupa?" Mata perempuan tua yang menyebut dirinya dayang Asih itu terlihat berkaca kaca.

"Sudah aku bilang, aku bukan putri. Tadi aku sedang berkaca di kamarku, lalu aku melihat bayanganku sendiri di dalam cermin dengan pakaian yang sangat aneh, lalu kepalaku pusing dan aku tidak ingat apapun lagi."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline