Lihat ke Halaman Asli

Bentrok TNI-POLRI: Ada Apa dengan Kalian?

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Pukul 08.30: Sekitar 75 personel TNI Yon Armed 15/76 Tarik Martapura, mendatangi Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU) menggunakan truk dan sepeda motor. Mereka hendak berdialog soal penanganan kasus tertembaknya Prajurit Satu (TNI) Heru Oktavianus oleh anggota Polres OKU, Brigadir Wijaya, dua bulan lalu yang tak jelas ujungnya. Kapolres OKU, AKBP Azis Saputra, sedang tak berada di tempat. Mereka diterima dengan baik dan dipersilakan masuk ke Markas Polres OKU. Sejumlah anggota Polres pun menyiapkan ruangan untuk pertemuan itu.

Pukul 09.00: Sejumlah anggota TNI mulai mengamuk di dalam Mapolres dan menghajar tiga petugas jaga Polres OKU. Mereka adalah Aiptu Arwani (luka tusuk paha kiri), Briptu Berlin Mandala (luka tusuk di punggung), Bripka M., dan Asrul Hasibuan, yang merupakan petugas kebersihan.

Pukul 10.00: Anggota TNI meninggalkan lokasi yang sudah terbakar menuju markas Batalyon Artileri Medan 15/76 Tarik, Martapura.

Pukul 10.30: Rombongan TNI tak langsung kembali ke markas. Mereka berbelok menuju Mapolsek Martapura dan menghancurkan kantor Polsek Martapura. Kompol M. Ridwan yang berada di tempat pun langsung menjadi bulan-bulanan sejumlah anggota TNI AD.

Pukul 11.00: Puas memporak-porandakan Mapolsek Martapura, rombongan tentara kembali ke markas. (Sumber:http://tempo.co)

Begitulah, kronologis insiden pembakaran kantor Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan yang dilakukan oleh puluhan oknum anggota TNI pada Kamis pagi 7 Maret 2013 lalu. Akibatnya, kita sudah sama-sama mengetahuinya. Yang belum tuntas terjawab, hingga kini, apa makna bentrok tahunan TNI-POLRI ini dan bagaimana kita harus memaknainya?

Kesenjangan Kesejahteraan dan Kewenangan?

Pengamat Kepolisian Bambang W. Umar, menyebutkan bahwa dari sisi kehidupan materi, kesenjangan tampak nyata di kalangan bawah antara prajurit TNI dan Polri. Menurut Bambang, kondisi itu sangat berpotensi menimbulkan kecemburuan antara anggota dua institusi pengawal republik ini. Sementara, Menkopolhukam Joko Soeyanto, dalam dialog di TV One, (8 Maret 2013, jam 19.00 WIB) meragukan faktor “kesejahteraan” itu. Ia hanya menyebutkan, antara lain bahwa pemisahan kewenangan TNI-Polri adalah berdasarkan undang-undang (UU No.2/2002 tentang Polri, UU No.34/2004 tentang TNI dan UU No.3/2002 tentang Pertahanan Negara), yang salah satu implikasinya adalah kewenangan TNI telah “dipangkas” untuk mengatasi persoalan keamanan dalam negeri. TNI, sesuai UU, hanya “mengurusi” pertahanan. Istilah “dipangkas” ini juga sempat dilontarkan oleh Priyo Budi Santoso, Wakil Ketua DPR-RI. Pryo menegaskan, pemangkasan kewenangan menjadi pemicu kecemburuan sosial di antara prajurit TNI-Polri. Mantan Kapolri Jenderal (Purn.) Dai Bachtiar, dan Jhonson Panjaitan (IPW) dalam dialog TV One itu, juga sempat menyebutkan soal “kesenjangan” ini. ‘Balas dendam’, juga dapat menjadi unsur pemicu konflik TNI-Polri, atau TNI dengan kelompok masyarakat tertentu, misalnya. Kasus Lapas Cebongan, Yogjakarta adalah contoh kasus yang teranyar.

Bagaimana kita memaknai itu? Kata “kesejahteraan”, adakah hanya tertuju kepada slip gaji perbulan anggota, semata? Apakah istilah balas dendam itu, hanyalah faktor balas dendam, tok? Tidak kah ada nilai ekonomis (baca: perebutan area bisnis) yang bermain di dalamnya?

Sudah menjadi rahasia umum, anggota Polri (sebut saja oknum) kerap kali “dikaryakan” di tempat-tempat tertentu. Di perusahaan, termasuk tempat hiburan, misalnya, sebagai pengamanan (bodyguard?). Atau, menjadi ajudan pribadi atau pengawal sejumlah pejabat tinggi, dengan imbalan tertentu yang jauh melebihi dari jumlah penghasilan perbulannya, sebagai anggota Polri. Di lain waktu, anggota Polri acap kali “dipakai” sebagai tenaga pengamanan (lebih memihak ke perusahaan?) ketika terjadi konflik antara perusahaan dengan karyawannya. Sementara, jarang sekali terlihat anggota TNI “dikaryakan” seperti ini, sejak pemisahan “kewenangan”, di masa reformasi. Akibatnya, “Pasca pemisahan kewenangan tersebut, frekwensi bentrok antara TNI dengan Polri meningkat 300 persen,” (Priyo Budi Santoso, okezone.com). Belum lagi, misalnya, “budaya setor ke komandan”, di lingkungan institusi Polri (jika betul ada), membuat sebagian anggota di lapangan ‘terpaksa nyambi’. Kita tak tahu persis, apakah ketimpangan (kewenangan dan kesejahteraan)di antara anggota TNI-Polri di lapisan bawah menjadi akar masalah “bentrok tahunan” itu, memang benar adanya?

Agresivitas Manusia

Manusia, tak jauh bedanya dengan binatang dalam hal agresivitas: menyerang dan mempertahankan diri (Baron dan Byrne, 1984). Sang penemu psikoanalisa, Sigmund Freud (1930 – 1963) menyebutkan: “Agresif adalah salah satu naluri dasar manusia, yaitu naluri untuk mati , yang bertujuan untuk mempertahankan jenisnya (survival),”. Bentuk dariperilaku ini (death instinct)ini, Sosiologi Profetik,adalah naluri agresif yang menyebabkan seseorang ingin menyerang orang lain, berkelahi, berperang, atau marah.

Begitulah, tentara dan juga polisi adalah manusia (rocker juga manusia...). Jika kesenjangan kesejahteraan dan keweangan tak ingin kita jadikan ‘kambing hitam’, bagaimana kalau kita meminjam teori milik Sigmund Freuditu saja, sebagai akar masalah? Maksudnya, perilaku sangar dan menyerang sebagian “anggota” di lapangan (baca: Di jalan-jalan, tempat keramaian, di luar barak mereka) akibat dari ketidakseimbangan antara id, ego dan super ego para prajurit kita. Karenanya, tak salah jika sebagian kalangan pernah mengusulkan agar psikotes dijadikan sebagai salah satu syarat (utama) bagi orang yang berniat menjadi anggota TNI dan Polri. Ini bisa dimaklumi. Mereka, jika lulus menjadi prajurit, alat kokang senjata api berada ‘di ujung telunjuknya’-nya. Ini, yang membuat prajurit kita amat-sangat “PD” dan tampak gagah. Belum lagi, para prajurit, terutama TNI, dalam masa pendidikan, mereka diajarkan dan dilatihkan bagaimana menyerang dan melumpuhkan musuh (bukan rakyat sipil atau sesama prajurit), tapi “hanya” dalam medan perang. Sehingga, di luar dari medan perang hasil pendidikan latihan itu, akan “tetap selalu terbawa” dalam diri mereka, kapan dan di mana saja.

Kebiasaan anggota Polisi (oknum) menyiksa warga sipil, orang baik-baik atau diduga penjahat, juga perlu mendapat perhatian. Ketika menjadi wartawan kriminal pertengahan 90-an lalu, di Makassar, saya mewawancarai Dai Bachtiar dalam kapasitas beliau sebagai Kapoltabes Makassar saat itu. Seorang tahanan Poltabes Makassar harus masuk ruang ICU RS Bhayangkara Makassar, akibat disiksa oleh oknum Polisi.Menurut Dai, ketika itu, “penyiksaan” ini hanya semata persoalan kesalahan protap, walau dimungkinkan pula berkaitan dengan mental dan perilaku oknum anggotanya.

TNI-Polri dengan Pilkada

Dalam peyelenggaraan pemilu , termasuk Pilkada, netralitas menjadi keniscayaan atau “keharusan” dari semua pihak yang terlibat, termasuk TNI dan Polri (tak usahlah buka UU Pemilu). Sayang sekali, jika ada oknum yang seharusnya tidak berpihak, namun secara kasat mata justru terlibat bahkan lebih jauh mengintimidasi, dengan kekerasan tentu saja, secara prosedural formal hal itu teramat sulit “dibuktikan”, di tangan Mahkamah Konstitusi, sekalipun. Ketidaknetralan di arena Pilkada inilah acapkali juga jadi pemicu konflik, horisontal terutama sekaligus diduga sebagai lahan untuk “nyambi” para prajurit kita di lapangan. Kita tak berusaha, tentu, menarik-narik TNI-Polri ke wilayah ini.Tapi, jika boleh diusulkan, kepada para elit TNI-Polri agar memasukkan persoalan netralitas ini sebagai agenda penting ketika mendamaikan para prajurit kita yang bertikai. Sebagai catatan untuk Polda wilayah Sulselbar, sedikitnya ada 11 kabupaten-kota di Sulsel yang telah dan akan menyelenggarakan pesta pemilihan bupati atau walikota di 2013 ini. Sejumlah daerah yang dianggap suhu politiknya cukup tinggi: Makassar, Palopo (sudah selesai dan sempat rusuh), Parepare dan Sidrap. Lagi-lagi, kesigapan -- juga netralitas -- aparat Polri di lapangan bakal mendapat ujian atau pujian jika mereka mampu menunjukan tugas, fungsi dan kewenangannya secara semestinya.

Harapan warga masyarakat (civil society) tampaknya, masih banyak kepada insititusi TNI-Polri sebagai pengayom, pengawal, pelayan dan pelindung bagi nusa, bangsa dan tanah air beta. Warga masyarakat tak banyak peduli soal “terpangkasnya kewenangan” itu. Siapa yang berkuasa di dalam negeri dan pihak mana sebagai pemilik area pertahanan. Mereka hanya menginginkan TNI-Polri, sebagai wakil negara bergerak sesuai tupoksinya. Bukannya saling berantem, bahkan dengan warga non-aparat.

Hal lain adalah, "Polri dan TNI harusnya saling menghormati sebagai aparat negara. Bentrok sering terjadi karena mereka tidak menghormati tugas masing-masing," ujar S. Pane dari Indonesia Police Watch (IPW).

Itu saja. Jika tidak, pertanyaan “Ada apa dengan TNI-Polri” masih terus terkuak di lembaran halaman demi halaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline