Lihat ke Halaman Asli

Menelusuri Tujuh Kilometer Citarum Lama

Diperbarui: 27 Juli 2024   20:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melintas di Gua Sanghyang Poek. Dok: Fauzia Rahmawati

Bersama Rogez, Ika, Fauzia dan dua orang warga setempat, kami berjalan lunglai menaiki sebuah bukit untuk menghindari jalan terjal ketika berusaha melewati sebuah air terjun di aliran Ci Tarum lama. Saya sendiri sudah kehabisan jurus buat menghibur si Ika yang kelihatannya badmood dan kepayahan berjalan di tanjakan. Kami telah berjalan sekitar empat kilometer dari titik awal penelusuran. Cuaca sedang terik, ditambah lagi saat itu bulan puasa, tapi kami tetap ngotot untuk berangkat. Maka, suasana murung macam begitu sudah sewajarnya terjadi. Pemandangan indah perbukitan yang mengapit lembah sungai di depan mata jadi kagak menarik, buram seperti jepretan kamera nokia jadul dua megapixel.

Tapi itu tak jadi soal. Toh, saya jarang merasa bahwa pemandangan yang mengesankan bakal menjadi obat bagi lelah tubuh setelah berjalan jauh. Saya kira, menyelesaikan sebuah perjalanan terasa jauh lebih memberikan kepuasan ketimbang hal-hal lain yang menyertainya. Dan barangkali, itu pulalah yang dirasakan oleh kawan kawan.

Waktu itu, kami memang sedang keranjingan susur-susuran. Setelah tuntas nyusur Patahan Lembang sepanjang dua puluh sembilan kilometer, saya mulai mencari tempat-tempat lain untuk disusuri. Terutama tempat-tempat dengan medan penelusuran yang relatif mudah dan menyenangkan untuk dijejaki. Dan  susur sungai, sepertinya bakalan menyenangkan. Lalu pilihan kami jatuh pada aliran Ci Tarum lama.

Sang Dewa Alam

Saat Ci Tarum dibendung tahun 1986, alirannya dibendung dan diteruskan melalui pipa pesat, lalu dikeluarkan untuk menggerakkan turbin powerhouse di Cisaat-Cisameng. Pipa terusan itu memotong aliran alaminya sepanjang tujuh kilometer. Segmen itulah yang kami susuri. Saguling telah membendung Ci Tarum berikut segala limbah di dalamnya, sehingga aliran lama yang kami datangi menjadi bersih karena hanya berasal dari mataair di bukit bukit sekitarnya.

Perjalanan dimulai dari titik paling hilir menuju hulu (upstream). kenyataan itu membuat kami (atau mungkin cuma saya) memasrahkan diri karena bakal menghadapi jalanan yang terus menanjak.

Sesuai namanya, objek-objek awal yang ditemui, saya kenal dengan istilah Sang Dewa Alam. Berupa tiga buah gua yang saling berdekatan. Gua itu bernama Sanghyang Kenit, Sanghyang Tikoro, dan Sanghyang Poe. Ketiganya tersusun dari batu gamping yang secara geologis masih termasuk ke dalam formasi Rajamandala. Bukit-bukit kars di daerah ini relatif terjaga dan masih menunjukkan bentuknya yang sempurna. Di tempat lainnya, pada formasi yang sama, bukit bukit kars yang ada nampak bopeng, hampir rata dengan tanah karena terus ditambang. Dan soal tambang ini sebaiknya tak usahlah dibahas panjang panjang, nanti jadi runyam.

Saat melintas di Sanghyang Poek, nampak dinding tebing yang menggantung. Kenampakkan itu adalah bukti deras dan besarnya debit aliran Ci Tarum sebelum dibendung, hingga mampu mengiris dinding tebing yang kompak. Di kalangan pemanjat, medan tebing semacam itu dikenal dengan istilah overhang, menjorok dari mulut gua hingga bibir sungai.

Gua Sanghyang Poek memiliki lorong yang terdiri dari beberapa cabang. Panjang lorongnya tak lebih dari seratusan meter. Medan yang tak terlalu sulit itu menjadikannya sangat baik sebagai tempat untuk belajar penelusuran dan pemetaan gua. Bau kotoran kelelawar yang samar tercium adalah bukti bahwa gua ini menjadi habitat kelelawar dan biota biota lain yang menjadi rantai ekosistemnya.

Hawa dingin dan lembab segera terasa begitu memasukinya. Kilauan cahaya headlamp memantul dari dinding gua yang kaya akan pasir kalsit. Mineral kalsit adalah penyusun utama batuan gamping, batuan yang solid namun bisa terlarutkan oleh air. Proses pelarutan itu pulalah yang membentuk sebuah gua dan dekorasi di dalamnya. Memahatnya menjadi lubang-lubang kecil yang terus membesar, lalu kemudian terciptalah ornamen seperti stalaktit, stalagmit, tiangan, gourdam dan lainnya.

Secara alami, gua terbentuk dalam dua cara: cepat atau lambat. Gua yang tersusun dari batuan gamping terbentuk dengan lambat, ribuan hingga jutaan tahun. Sebagai gambaran, dalam salah satu literatur dikatakan bahwa pertumbuhan stalaktit hanya berkisar satu milimeter saja dalam kurun waktu sepuluh tahun, sumpah saya kagak salah baca, sepuluh tahun! Sedikit demi sedikit, dari ujungnya yang bolong mengeluarkan tetesan tetesan kecil yang konstan. Betapa sabar, bukan? Dan itu adalah pelajaran!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline