Gemuruh angin meraung-raung sepanjang malam. Hembusannya sesekali menyelusup melalui sela-sela bentangan kain tipis yang kami pancang di tepian, menerpa tubuh yang sudah mulai kedinginan. Dalam gelap, Saya berusaha membenahi kain sarung yang Saya kenakan, entah yang keberapa kalinya.
Malam itu, Saya memang tak berharap bisa tidur dengan nyenyak. Dua kawan lain, Freden dan Fikor, juga merasakan kesuraman yang sama. Kami bertiga berjejal di sebuah teras kecil, 600 meter lebih di atas tanah, saling terhubung dengan tali pengaman. Teras itu adalah stasiun Pitch ke 13 pada pemanjatan dan pembuatan jalur yang sedang kami kerjakan.
Setelah 22 hari berlalu sejak pertama kali tiba, rasanya Saya masih tak percaya bisa berada di atas sini, hanya terpaut seratusan meter menjelang puncak Tebing Batu Daya, dinding raksasa di tengah hutan belantara Kalimantan. Selisih tersebut masih jauh, mengingat itu adalah seratus meter jarak pemanjatan.
Tapi, dengan memperhitungkan apa yang telah kami lalui beberapa minggu belakangan, tak berlebihan –agaknya- jika Saya merasa cukup puas dengan situasi saat ini, dengan apa yang telah kami capai sampai sejauh ini, apapun hasilnya kemudian.
Tiba di Batu Daya
Rabu pukul tiga dini hari, 18 November 2020 tim pertama kali tiba di Desa Batu Daya, di Pusat Desa bernama kampung Keranji. Kami semua tergabung dalam sebuah perkumulan bernama IBEX (Indonesia Bigwall Expedition), kawan-kawan satu hobi yang lebih berfokus pada pemanjatan tebing-tebing besar. Termasuk Saya, tim kami berjumlah 6 orang, Ruslan sebagai penanggung jawab ekspedisi, Freden, Faudzil, Asep dan Halimah.
Dari Pontianak, termasuk beberapa kali istirahat, secara normal memakan waktu 7-8 jam perjalanan. Dari Keranji, sisi Bukit Batu Daya bagian utara nampak diselimuti kabut, sudut-sudut hijau pepohonan melengkapi keindahannya, sementara itu bidang tebing yang akan kami panjat sama sekali tak terlihat karena berada di sisi bagian belakang.
Dalam peta geologi lembar Nangataman-Ketapang, Batu Daya merupakan batuan terobosan berjenis andesit porfir, dengan nama formasi Toms yang berarti dari zaman tersier kala oligo-miosen, alias batuan berumur 20-30 juta tahun yang lalu. Ini memang masih harus dibuktikan dengan mengecek di lab sampel batuan yang akan kami bawa kemudian.
Pagi hari itu, Kepala Desa sudah menunggu di rumahnya. Pak Matius, begitu ia disapa, sebetulnya telah menunggu dari semalam. Kami memang sudah melakukan kontak sejak dari Pontianak. Akan tetapi karena banyak berhenti untuk bertanya, perjalanan menjadi lebih lama daripada seharusnya.
Sempat juga, mobil yang mestinya berbelok di sekitar Simpang Dua, malah lewat hingga Laur dan terpaksa harus memutar balik setelah bertanya di warung setempat.
Batu Daya merupakan salah satu Desa di Kecamatan Simpang Dua, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, terletak di tengah-tengah perkebunan sawit yang sangat luas. Mayoritas penduduknya merupakan suku Dayak yang memeluk agama Katolik. Mata pencaharian penduduk sebagian besar berladang dan bekerja di perusahaan sawit.
Untuk mendapatkan fasilitas kesehatan, atau berbelanja kebutuhan sehari-hari yang lumayan lengkap, masyarakat desa mendapatkannya di Laur, ibukota kecamatan tetangga. Menuju kesana bisa dicapai dengan berkendara selama satu jam menembus jalan laterit khas perkebunan sawit yang nampak seperti labirin.
Karena jaringan PLN belumlah masuk, kebutuhan listrik hanya didapatkan dari pasokan generator, dan hanya beroperasi pukul 18.00-22.00. Waktu tersebut harus dimanfaatkan untuk melakukan berbagai macam kebutuhan yang memerlukan tenaga listrik semisal menyeterika, mendapatkan informasi melalui siaran televisi, ataupun mengisi daya berbagai macam perangkat elektronik.