Lihat ke Halaman Asli

Kangkung dan Semanggi II

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Baju sekolahku sudah terasa basah, apalagi di tempat tas ini menempel, bagian pundak dan punggung, benar-benar basah. Pelan-pelan saja ku langkahkan kaki ini dengan sesekali mencari batu untuk ditendang. Benar-benar seperti tak punya tenaga lagi untuk berjalan, apalagi ditambah panas si matahari yang tiap hari menyusahkanku.

“Kenapa tiap pulang sekolah kamu sepanas ini sih?” Gerutuku sambil melihat ke langit.

Dia tak juga menjawab, hanya bersinar terlalu terang hingga mataku tak melihat birunya langit.

“Ah sebentar lagi sampai rumah, sebentar lagi, sebentar.” Gumamku seperti orang ngelindur.

“Sampai rumah nanti, aku bakal minum es teh, makan yang banyak, ditambah ayam goreng dan sayur kangkung kesukaanku, ahh.” Khayalan dan harapanku melambung tinggi, terbang tanpa halangan, ingin menggapai matahari yang tak ada toleransi sama sekali padaku dan kuberi dia kain hitam biar Ia tidak sebegitu terangnya.

Gerbang depan rumahku menyambut, “Hei cepet lari Nak, ibumu sudah memasak spesial untukmu.” Seolah-olah pagar bambu rumahku itu punya mulut dan mulai liar berkata dan membujukku untuk berlari masuk ke rumah dan segera ke dapur. Kukerahkan sisa tenagaku, dan bersiap berlari penuh harapan. Panasnya matahari sudah tak kuhiraukan, jalan berbatu sudah tak aku lirik, yang kulihat hanya gerbang bambu, dan bayanganku tentang ayam goreng ditambah sayur kangkung semakin nyata dan melambai-lambai depan mata.

Maaak!” Teriakku sambil membuka pintu.

“Apa to Le?” Terdengar suara ibu dari dapur.

“Wah, ibu di dapur.” Pikirku. Ini pertanda bakal ada makanan enak untuk makan siang.

Satu dan dua sepatuku kulempar di sebelah pintu. Kaus kakiku tak ingin bertempat di sepatu, jadi ku turuti saja dan ku lempar ke samping si sepatu. Tas yang tadinya menempel di punggung, aku lemparkan di kursi depan rumah. Dasi merah yang menempel di kerah leher aku lepas dan ku lempar entah kemana.

“Mak, masak apa? Kangkung sama ayam goreng?” Tanyaku bersemangat.

“Ayam goreng apa to? Itu loh tempe goreng dari Mak Sri tadi pagi, tapi masih gurih lo Le. Ini kangkungnya masih dikukus.”

“Yah, gak ada ayam goreng Mak?” Timpalku dengan kerut dahi dan tanggapan yang sedikit kecewa

“Ya kapan-kapan aja, Bapakmu belum dapet rezeki lebih itu loh.”

“Ayolah Mak, ayam goreng.”

“Ituloh tempe goreng masih panas, rasanya juga kaya ayam goreng.” Hibur emak kepadaku.

Perlahan-lahan aku ke meja dan membuka tudung saji. Aku ambil satu tempe goreng yang sudah hangat, karena yang lain masih panas. Aku gigit sedikit demi sedikit dan benar, rasanya seperti ayam goreng.

“Mak kok bisa rasanya kaya ayam goreng?” Mataku terbelalak dan sedikit senyuman sumringah keluar.

“Tadi Emak kasih bumbu rasa ayam goreng yang dikasih Mak Sri juga.”

Wah ini berarti tinggal menunggu kangkung yang sedang dimasak Emak. Aku berbaring di kursi bambu panjang tempat emak menaruh bumbu-bumbu, ada garam, merica, bawang merah, gula putih, ketumbar yang dibungkus oleh kaleng-kaleng plastik bekas permen.

“Nak, ada semanggi juga loh, belum pernah nyoba kan? Nanti coba buat makan siang juga ya.”

“Oh ya Mak.” Aku menjawab dengan mata yang sudah mulai mengatup, aku ngantuk.

Tertidur pulas akhirnya. Bawaanku ingin segera makan, terbawa sampai mimpi yang sedikit aneh. Aku perlahan-lahan berjalan ke sawah dan mencari kangkung, sementara terdapat daun semanggi yang terlihat ingin memakanku. Aku tak tahu mengapa ada daun semanggi yang sebesar itu dan berusaha memakanku, tapi Ia berkata, “Aku juga bisa kau makan Nak, tak hanya kangkung yang enak untuk sayur, aku juga layak untuk mendapatkan tempat di mulut dan bersarang di perutmu.”

Ternyata Ia malah ingin kumakan. Bagaimana bisa daun sebesar itu aku makan? Aku lebih suka kangkung, dan aku tak pernah mencoba semanggi untuk dijadikan sayur. Apakah aku harus memakannya? Pertanyaan dan kebingungan ini muncul berjejalan dari kepala.

“Le ayo bangun, mumpung nasinya masih hangat itu loh.” Goyangan tangan ibu di kakiku menghilangkan mimpi yang aneh tadi. Semanggi yang besar dan menutupiku hilang, aku sudah tak ada di sawah, aku sudah berada di kursi panjang dapur. Aku sudah bangun dan sadar kembali.

“Semanggi itu enak toh Mak?” Tanyaku penasaran.

“Loh enak loh Le, apalagi kalau lauknya tempe goreng.” Kata Emak memberi jawaban.

“Oh.”

“Kenapa? Gak mau to? Kan belum nyoba ngerasain? Hayo terkadang kita memilih tanpa tahu apa saja pilihan kita, jangan milih semanggi terus barangkali kamu nanti bakal suka sama semanggi? Ya kan?” Ibu tersenyum lembut dan teduh.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline