Lihat ke Halaman Asli

Kangkung dan Semanggi (I)

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kubentangkan kedua tanganku, bersiap-siap melewati jembatan kecil yang terbuat dari batang kayu yang kurus. Kayunya hanya sebatang dan licin akibat terkena lumpur dari kaki-kaki bapak-ibu yang pulang dari sawah. Batang ini menghubungkan antara kedua sisi parit, antara sisi jalan dan sisi pematang sawah.

Jadi bukan tanpa alasan aku membentangkan tangan kanan-kiri ku. Aku takut saja jika tercebur ke parit yang penuh lumpur dan akhirnya bajuku kotor. Atau lebih tepatnya aku takut dimarahi ibuku jika baju ini kotor.

Hap, hap, hap.

Sampai juga di seberang. Segera saja aku mencari kangkung liar yang tumbuh di pinggir-pinggir pematang sawah. Mataku menelisik kanan-kiri pematang.

“Semanggi, semanggi, semanggi, dan rumput liar. Mana sih kangkung?” Gumam dan terus bergumam.

Aku tak begitu tahu rumput apa saja yang ada di kanan-kiri kakiku. Yang ku tahu hanya semanggi. Berdaun empat dan berbentuk lucu. Seperti kincir-kincir kertas yang dijual bapak-bapak penjual mainan di pasar.

“Bukan semanggi Gus yang kamu cari.” Hati ku memberontak.

“Kangkung!” Bentaknya lirih.

***

Perlahan-lahan tanah di bawahku teduh, dan terlihat semakin coklat.

“Wah hujan pasti akan segera tiba.” Gumamku

Bola mataku berusaha naik ke atas di bagian ujung atas mataku. Dagu dan keseluruhan kepala diajaknya untuk melihat ke atas.

“Loh bukan awan?” Kataku terkaget.

Jantung berdegap kencang memburu keingintahuanku dengan hal yang baru dan tak pernah  kulihat. Kulihat sebuah lembaran hitam dan sedikit berwarna hijau. Terdapat urat-urat yang terlihat timbul di lembaran besar itu.

Semakin besar, semakin besar, dan lebar. Kontan Aku melihat samping kanan-kiriku. Semuanya tampak teduh dan perlahan-lahan gelap. Saat menyadari kondisi tubuhku, kakiku tak bisa bergerak dan terpaku di tempat Ia berdiri. Kulihat jari-jari kakiku yang kaku. Otakku memerintah untuk sedikit menggeserkan kaki-kaki ini ke kanan dan ke kiri. Tanpa aku sadari ada sepucuk kangkung yang ada di sela-sela jari-jariku. Tepat di pematang sawah dan di bawah kaki-kakiku. Tak sengaja dan tak tahu kalau Aku telah menginjak tanaman yang kucari.

Fokus perhatianku tidak hanya pada kangkung yang kuinjak, tetapi lebih besar kepada sebuah lembaran aneh yang mulai menyelimutiku.

Gigiku menggigil gemeretak dan terus bertabrakan. Tanpa aku pungkiri, tubuhku menyatakan ketakutan. Dengkulku lemas dan semakin tak kuat menopang tubuh kecilku. Perlahan Ia mulai berjongkok. Menatap atas dan tetap penasaran apa yang menyelimutiku.

“Seperti daun raksasa.” Kataku perlahan.

Ada empat garis cahaya yang memisahkan lembaran-lembarannya, seperti daun semanggi.

“Daun semanggi!”  Susulku mantap.

Sekarang aku benar-benar terkurung oleh kurungan daun aneh itu. Di sawah dan pematang-pematangnya. Lebih dari kecepatan cahaya, pikiranku bertanya, “Mengapa daun semanggi bisa sebesar ini? Apa yang terjadi dengannya?” Dan pertanyaan-pertanyaan lain saling salip-menyalip tanpa ada jawaban.

“Apa maumu nak mencari kangkung?” Suara besar menggaung.

Aku berpikir ulang, apa tujuanku tadi mencari kangkung di sawah. Bukan untuk mainan! Bukan untuk obat! Pikiranku tiba-tiba kacau.

“Ah kenapa aku ini?”

Kutarik udara melalui hidungku dan kuresap dalam-dalam. Satu, dua, tiga, berkali-kali. Setidaknya aku mencoba menenangkan diri dan mencari jawaban mengapa aku mencari kangkung?

***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline