Hanya ada dua peristiwa yang mampu membuat orang luar kota datang berkunjung ke desa saya. Yang pertama, saat pesta demokrasi (baik Pemilu, Pileg, atau Pilkada) digelar, dimana para caleg dan calon Kepala Daerah tiba-tiba "ingat" kalau kami ada di peta (untuk selanjutnya dilupakan kembali, tentu).
Dan yang kedua, saat Hari Raya Lebaran sudah dekat. Para perantau dari berbagai kota pulang ke kampung halamannya, tuk melepas rindu pada keluarga mereka. Tak terkecuali, para perantau dari Jakarta.
Sebut saja namanya Mas Udin. Ia perantau dari ibukota, dan nampaknya lumayan sukses hidupnya (setidaknya, itu yang ingin ia tunjukkan). Rumah Mas Udin jaraknya sepelemparan kelereng jauhnya dari kediaman saya. Tak jarang juga, Mas Udin main-main ke rumah saya, sehabis Sholat Ied ditunaikan.
Ia menggembar-gemborkan segala hal tentang ibukota. Mulai dari kehebatan gedung-gedung pencakar langit yang tingginya melebihi pohon beringin desa kami, kemegahan Istana Presiden (yang bila dibandingkan dengan keadaan balai desa, bagai langit dengan bumi), hingga enaknya hidup dan bekerja di Jakarta. Apalagi dengan segenap aksesoris bling-bling yang dikenakan Mas Udin, klopp sudah semua bualannya.
Pantas saja banyak orang yang segera tertarik mendengar ceritanya. Maklum bung, warga disini lebih akrab dengan angon sapi daripada otak-atik HP canggih, lebih sering njebur kali daripada foto sambil haha-hihi. Mereka silau oleh motor bebek keluaran terbaru -yang cicilannya belum lunas- ataupun jam tangan mewah yang menempel di tangan Mas Udin.
Sedangkan saya? Saya masih kecil kala itu. Dan zaman belum semaju sekarang. Saat itu, internet masih menjadi barang langka, selangka mencari mantu idaman berkriteria "ganteng-sholeh-mapan" yang diidam-idamkan ibu-ibu mertua. Saya mengenal Jakarta, berawal dari cerita orang yang pernah tinggal disana.
Pada akhirnya, banyak warga yang ikut Mas Udin merantau ke Jakarta. Beberapa rela menjual sawah, sapi, dan "ketenangan sebagai orang desa", demi menjemput asa menjadi orang kaya di ibukota. Hanya demi mendapati, bahwa ibukota tak seperti apa yang mereka harapkan.
Pertama-tama, mereka sudah "disapa" oleh kesemrawutan bus-angkot serta para penumpang di terminal, tempat mereka turun. Masa orientasi berlanjut dengan kemacetan, yang sudah menjadi rutinitasnya menyambut para pendatang (secara, apa yang lebih identik dengan kota Jakarta selain kemacetan?). Keesokan harinya, kerja yang dijanjikan oleh para perantau senior (macam Mas Udin), ternyata terlampau berat kerjanya, dan terlampau sedikit upahnya.
Sebulan kemudian, modal yang dibawa sudah semakin menipis. Disaat itu jugalah, banyak warga yang terkaget-kaget. Mas Udin -dan mungkin juga perantau lainnya- ternyata dililit utang yang tak sedikit, dikarenakan biaya hidup yang melampaui pemasukan. Segala kemewahan yang dipertunjukkan Mas Udin di desa, rupanya semu belaka. Para perantau junior, yang mempertaruhkan semua harta bendanya, tidak bisa tidak, kecewa dengan pilihan mereka sendiri.
Para warga yang masih punya sedikit uang, akhirnya memilih untuk pulang, menyerah dan kembali ke desa. Warga yang sial, yang di kantungnya tak tersisa lagi uang, terpaksa mengambil pekerjaan apa saja yang tersedia. Mereka telah terjebak di Jakarta, kota yang memang penuh harapan (palsu).
***