Lihat ke Halaman Asli

Marsiadapari: Sepenggal Kisah Mahakarya Indonesia

Diperbarui: 30 Juni 2015   19:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Source: Google Images"][/caption]

 

Ini tahun 1995. Sang surya belum jua menampakkan sinarnya di ufuk timur, sebagai pertanda hari baru akan tiba. Namun, Pak Tongin sudah lebih dahulu terjaga. Dinginnya udara pagi hari teratasi dengan kehangatan marsisulu (api unggun kecil) yang menjadi pelita dalam gubuknya di desa Gumba, Pulau Samosir. Ia, dengan peralatan taninya yang sederhana, bersiap pergi ke sawah di pagi buta itu.

            Perjalanan ke sawah tak memakan waktu lama. Hanya sekian menit berjalan, hamparan tanah berlumpur miliknya tersebut segera tampak. Sekaligus, para kawan-kawan yang sedari tadi menantikannya. Mereka pun membawa peralatan yang tak jauh beda. Ada arit, cangkul dan beberapa pisau kecil tergeletak di depan mereka. Ya, mereka bersiap untuk marsiadapari, gotong-royong khas para petani Toba.

Beta ma, bo!”[1], seru Pak Tongin mengomandoi teman-temannya. Sawahnyalah yang menjadi lahan pertama minggu ini untuk digarap bersama. Sepetak sawah di Samosir memang begitu luas, sehingga akan sangat berat (sekaligus membosankan) jika hanya digarap sang pemilik seorang diri. Marsiadapari merupakan tradisi yang mampu menjawab problema ini. Para kelompok petani ini akan bergiliran menggarap sawah-sawah milik mereka, sesuai dengan kesepakatan awal. Hari ini sawah Pak Tongin, besok milik petani lain. Selain mempermudah, cara bertani tersebut juga dapat mempererat tali persaudaraan di antara mereka. Bukankah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing?

            Tak ada sistem kasta tuan tanah dan buruh tani dalam tradisi mereka. Semua sama, semua pemilik, semua kerja. Beginilah konsep kesetaraan yang telah berkembang selama berabad-abad, yang terus dijaga oleh kaum petani sederhana ini. Kemakmuran bersama menjadi tujuan utama, diiringi dengan kerendahan hati tuk membantu yang lain. Bekerja dengan sungguh-sungguh dan rendah hati, serta bergotong-royong demi satu tujuan, membentuk identitas masyarakat yang sederhana ini.

 [caption caption="Source : Google Images" ]

[/caption] 

Ini tahun 2015. Udara pagi itu sangat dingin. Sambil menyulut rokok kretek yang saya bawa dari pelabuhan, saya kembali menyusuri bona pasogit (kampung halaman) ayah saya, di desa Gumba yang indah itu. Kisah kakek saya, Tongin Sibatuara mulai muncul kembali di ingatan. Cerita para petani tua teladan, yang selalu menginspirasi saya tuk menjaga berbagai budaya yang diwariskan. Gotong-royong dalam Marsiadapari-nya, yang dapat menjadi pedoman untuk hidup bersama di zaman sekarang. Juga bagaimana konsep kesetaraan yang ada di dalamnya, seakan dapat menampar muka para borjuis gendut nan rakus, yang senang membuat “kasta” di antara kita.

Marsiadapari hanyalah tradisi kecil yang menjadi penyusun sebuah identitas Nusantara sesungguhnya, yakni sebuah Mahakarya Indonesia. Mahakarya yang terdiri dari berbagai kearifan lokal yang melekat erat di setiap daerah. Mahakarya yang tersusun dari berbagai kebudayaan yang terpatri dalam setiap suku-suku Nusantara. Ya, mahakarya inilah yang akan selalu menjadi kebanggaan dalam setiap jiwa yang menyebut dirinya orang Indonesia.

Ah, namun semua telah berbeda sekarang. Agaknya, banyak orang yang tak lagi bangga menyebut dirinya sebagai putra-putri Indonesia. Sehingga, tradisi gotong-royong yang telah mengakar dilupakan dan dibiarkan dikikis oleh para manusia individualis ciptaan zaman modern. Konsep kesetaraan yang arif pun diganti dengan pembagian status sosial “si kaya dan si miskin”, imbas dari paham asing yang menjangkiti ibu pertiwi. Apakah mereka lupa bahwa itu semua penyusun Mahakarya Indonesia yang selalu kita agungkan? Ah, tanya saja pada mereka.  

Akan tetapi, pelita harapan pun masih dapat disulut, demi menerangi kegelapan yang mulai menyelimuti ini. Mulailah dari diri sendiri. Temukan beberapa tradisi yang masih tersisa. Cobalah mengais berbagai kearifan dari timbunan budaya modern yang ada. Terakhir, amalkan dalam keseharian kita. Tunjukkan kita juga memiliki jiwa yang sama dengan para pendahulu kita. Agar mahakarya ini tak tergerus roda waktu yang terus berputar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline