Artikel *What Western Democracies can Learn from China?* oleh ilvinas Svigaris mengulas tantangan yang dihadapi demokrasi Barat akibat neoliberalisme yang semakin dominan dan membandingkannya dengan keberhasilan reformasi ekonomi dan politik di China. Zilvina Svigaris menyoroti bahwa demokrasi Barat kini dihadapkan pada ketimpangan kekuasaan antara entitas ekonomi dan politik, yang mendorong hilangnya kepercayaan masyarakat pada proses demokrasi. Di Barat, neoliberalisme memungkinkan korporasi besar memengaruhi kebijakan, yang membuat pemerintah sering mengutamakan kepentingan ekonomi daripada kesejahteraan publik. Akibatnya, masyarakat semakin terpinggirkan dari keputusan politik, partisipasi politik menurun, dan fenomena populisme meningkat seiring dengan terpolarisasinya masyarakat.
China, di sisi lain, menerapkan pendekatan berbeda dalam mengelola neoliberalisme. Negara ini memadukan prinsip pasar bebas dengan perencanaan negara yang sistematis dan bertahap. Dalam perumpamaan Zilvina Svigaris, pendekatan ini diibaratkan seperti "meraba batu saat menyeberangi sungai," di mana setiap langkah diambil dengan penuh kehati-hatian dan disesuaikan dengan kebutuhan nasional. Dengan demikian, China berhasil mengangkat jutaan penduduknya dari kemiskinan, menciptakan kelas menengah yang stabil, dan memperkecil ketimpangan sosial yang menjadi masalah di banyak negara Barat. Reformasi ekonomi yang diadopsi China tidak hanya bertujuan pada pertumbuhan, tetapi juga mempertimbangkan stabilitas sosial, di mana pemerintah China tetap memainkan peran aktif dalam distribusi sumber daya dan perencanaan ekonomi.
Zilvina Svigaris juga menekankan pentingnya nilai budaya dalam model pembangunan China. Di bawah pengaruh nilai-nilai Konfusianisme, yang menekankan harmoni sosial, China mampu memadukan prinsip kapitalisme dengan stabilitas sosial yang kolektif. Ini sangat berbeda dengan demokrasi Barat yang mengutamakan individualisme. Menurut Zilvina Svigaris, pendekatan China memperlihatkan bahwa neoliberalisme bisa diterapkan tanpa mengabaikan kesejahteraan masyarakat luas, jika dibarengi dengan kebijakan redistributif yang mendukung kepentingan publik.
Salah satu kelemahan terbesar dalam demokrasi Barat, menurut Svigaris, adalah menurunnya partisipasi masyarakat dalam proses politik. Masyarakat Barat kian apatis terhadap politik karena merasa suaranya tidak lagi berdampak pada kebijakan. Hal ini menciptakan sistem demokrasi yang lebih berpusat pada statistik ketimbang kebutuhan nyata masyarakat. Sebaliknya, China meskipun bukan negara demokrasi dalam pengertian Barat, berhasil menciptakan keterlibatan kolektif dalam mencapai tujuan nasional.
Dalam rangkuman Zilvina Svigaris, demokrasi Barat dapat belajar dari China dengan memprioritaskan kembali kesejahteraan publik dan memperkuat partisipasi warga negara dalam proses politik. Demokrasi Barat perlu mempertimbangkan reformasi yang lebih inklusif, redistribusi kekayaan yang adil, dan kebijakan yang mengutamakan kepentingan bersama daripada korporasi besar. Dengan mengambil inspirasi dari model ekonomi China, demokrasi Barat berpotensi untuk mengatasi ketidakpuasan masyarakat dan memperbaiki krisis kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi. Analisis Zilvina Svigaris memberikan refleksi kritis atas demokrasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H