Lihat ke Halaman Asli

Er Agapi

Penulis

Jiwa Dibalas Jiwa, Harta Dibalas Harta - Cerpen

Diperbarui: 26 Maret 2024   18:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Surat tanpa alamat pengirim itu kutemukan di depan pintu, sehari setelah pulangnya aku dari penjara. Bertahun-tahun hidup sebagai sampah masyarakat, menyadarkanku bahwa surat jenis seperti itu diabaikan saja, toh kadangkala isinya penipuan. Tapi keingintahuanku membuncah, gemas bila tak membukanya. Maka biar aku baca sejenak.

-7.379036,109.898213 

Koordinat harta karun senilai lebih dari empat miliar rupiah!

Sekilas saja aku terperangah, tapi lekas menggeleng. Surat itu kelewat menggiurkan bila bukan tipu daya saja, lebih-lebih tanpa alamat pengirim. Aku remas dan lempar surat itu ke pojokkan. Sialnya, waktuku terbuang, padahal perlu bergegas pergi melamar perusahaan hari ini.

Aku pergi sambil berdoa dan menciumi CV-ku yang lalu kuberikan pada perusahaan incaran, lalu pulang dengan jantung berdebar kencang. Aku harap, bilamana mungkin, mendapat pekerjaan baik-baik demi unjuk gigi pada emak, supaya menerimaku sebagai anak lanangnya. Barulah aku akan minggat dari kota kumuh ini, meninggalkan tuduhan besar yang telah memenjarakanku.

Lalu begitu sampai pintu rumah, email perusahaan sebelumnya sudah masuk. "Kau Mahbubuddin yang bunuh Pak Raheem?" kata si email. "Kami bukan tempat ibadah; kami menerima pekerja baik-baik, bukan seorang dalam pertobatan."

Kalimat tak sedap dibaca itu menghunus hatiku tanpa membuatnya berdarah-darah. Maka dengan berat hati aku coret nama perusahaan pertama itu dalam daftar catatanku.

Aku pun mengetik email untuk perusahaan itu, "Maafkan saya. Namun sungguh, kebenaran sebetulnya---"

Aku berhenti mengetik, menyadari belum adanya bukti untuk kebenaran itu. Maka biarlah kebenarannya masih tersimpan sejenak. Kelak mesti akan terkuak.

Besuknya perusahaan kedua pun menolakku hanya dalam lima menit. Kejadiannya terus begitu---lamar-tolak---hingga sebulan kemudian, semua nama perusahaan di catatanku sudah dicoret. Banting tulangku tak dihargai, membuat perutku mulai menonjolkan tulang-tulang rusuknya.

Maka biar sejenak aku lahap nasi berjamur, yang sudah itu sepiring terakhir, pun rasanya mirip kaki cecak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline