Lihat ke Halaman Asli

Aku Membaca Maka Aku Bahagia

Diperbarui: 18 Oktober 2022   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Perpustakaan adalah salah satu pintu kegembiraan bagiku. Sebenarnyalah aku ingin menyebutnya pintu kebahagiaan, tetapi hal itu rasanya berlebihan. Aku tidak suka berlebihan. Mengapa perpustakaan menjadi pintu kegembiraan bagiku? 

Agak panjang ceritanya. Tidak cukup jika aku hanya berkata singkat bahwa perpustakaan telah membukakan akses hiburan dan pengetahuan melalui koleksinya: buku, koran, majalah, manuskrip, dokumen, gambar, dan tentu bahan-bahan bacaan elektronik atau digital pada era internet ini. Aku harus memulainya dari masa kanak-kanak ....

Berkenalan dengan Perpustakaan 

Aku lahir dari keluarga sederhana di sebuah dusun di pelosok Bantul, Yogyakarta. Orang tuaku bekerja sebagai tukang jahit. Seperti pengalaman kebanyakan anak dusun pada tahun 1980-an, perpustakaan dan dunia baca benar-benar jauh dari jangkauan atau bahkan tidak terpikirkan oleh kami. 

Pertama kali aku mengenal buku sebagai bacaan adalah saat masuk sekolah dasar. Tentu saja yang kumaksud ini adalah buku pelajaran. Ketika sudah cukup lancar membaca, barulah aku mulai tertarik pada bacaan di luar buku pelajaran, yakni buku-buku bacaan proyek Inpres yang tersedia di perpustakaan kecil sekolah. 

Namun, karena jumlah koleksinya yang sedikit atau mungkin karena tidak ada tenaga pengelolanya, buku-buku di perpustakaan sekolahku itu hanya boleh dibaca di tempat.

Ruang perpustakaan kami kecil saja, ukurannya sekitar 3 x 3 meter. Ruang itu merupakan hasil dari penyekatan ruang guru. Untuk memasukinya, kami harus melewati pintu belakang ruangan itu karena akses dari ruang guru tidak boleh digunakan secara bebas oleh siswa. 

Hanya jika ada keperluan terkait dengan belajar-mengajar, siswa diperbolehkan masuk ke perpustakaan melalui ruang guru. Jangan bayangkan ada meja dan kursi untuk pengunjung di perpustakaan itu. 

Perabot pendukungnya hanyalah sebuah almari rendah tempat buku-buku koleksi disimpan. Selebihnya, di sudut lain ada rak terbuka tempat menyimpan alat-alat olahraga (bola sepak plastik, bola dan net voli, pemukul bola kasti), tumpukan barang-barang hasil prakarya siswa, juga ember, cangkul serta sekop. Perpustakaan kami merangkap gudang.

Kami biasa membaca dengan berdesakan di lantai ruangan atau di luar, yakni di undakan masuk yang sengaja dibuat memanjang agar dapat menjadi tempat duduk-duduk di kiri kanan pintu belakang itu. 

Di undakan itu tempatnya lebih nyaman dan lapang. Namun, pemandangannya terasa agak menyeramkan karena di seberang halaman belakang sekolah itu terdapat sebuah kuburan tua yang bertembok rendah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline