"Aku tidak mengizinkan Mas Anwar menjadi ketua RT lagi. Memang enak jadi ketua RT? Dua periode itu sudah cukup. C-U-K-U-P. Enough is enough! Titik." Istriku marah begitu rupa saat kuberi tahu bahwa dengan suara bulat pengurus RT berencana mengajukanku sebagai ketua RT lagi untuk periode selanjutnya. "Itu bukan demokrasi, Mas. Bukan musyawarah mufakat, tapi penumbalan!"
Aku dapat memahami penolakan Nin, istriku. Menjadi pengurus RT, apa lagi ketua, memang merepotkan. Jika salah seorang presiden kita pernah mengatakan bahwa "State never sleep", kurasa RT pun demikian. Pernah pada suatu tengah malam aku mendapat telpon dari luar kota. Setelah memperkenalkan diri, si penelpon mengaku dirinya adalah mantan warga di RT-ku. Ia berkabar bahwa ibunya telah meninggal dan sesuai wasiat ibunya, ia harus menguburkan jenazah sang ibu di kampung halamannya, tempat RT kami berada.
Setelah minta maaf entah berapa kali, si penelepon tadi mohon bantuan untuk mempersiapkan pemakaman keesokan harinya. Walhasil, lewat tengah malam aku dan dua warga yang masih bergadang di pos kamling mengetuk rumah juru kunci makam, kepala tim penggali kubur, dan pengelola makam. Tak lupa aku mengirim pesan kepada Kepala Dusun dan Ketua RW untuk bersedia memberi sambutan. Satu jam menjelang subuh baru dapat dipastikan bahwa urusan pemakaman itu sudah berjalan pada relnya.
Lain waktu, pada suatu pagi menjelang berangkat kerja sekaligus mengantar Nin ke SD tempat ia mengajar, seorang warga mengadukan tetangganya. Si tetangga memarkir mobilnya di gang secara sembarangan sehingga menghalangi lalu lalang. Sementara itu si pemarkir tidak menanggapi saat pintu rumahnya diketuk. Pak RT diminta turun tangan. Maka kacaulah rencana yang telah kubuat bersama Nin untuk membuat sedikit perbaikan hidup: berangkat kerja lebih pagi bersama.
Dan sepanjang jalan menuju tempat kerja, di atas sepeda motor tuaku, tak dapat kuhentikan suara dalam kepalaku yang terus merepet, "Dasar kelas menengah sialan, punya mobil nggak mikir garasi! Mobil mobil kalian, tapi mengapa urusan parkirnya kalian lempar ke umum? Makanya kalau naik kelas, jangan lupa bawa naik juga otaknya dong!"
Begitulah hidupku sebagai pengurus RT. Iramanya "penuh dinamika dan improvisasi". Itu belum menghitung urusan rutin melayani warga. Mereka bisa datang setiap saat (meskipun jelas-jelas sudah kutulis jam layanan di depan rumah) untuk urusan KTP, administrasi nikah, cerai, kematian, warisan, keterangan tidak mampu, izin usaha, utang bank, dan segala macam administrasi kependudukan. Dan sungguh demi kenyamanan, maka aku, Nin, atau semua orang rumah harus seramah mungkin menghadapi tamu-tamu.
Nin jelas jauh "lebih memahami" atau kenyang dengan semua permasalahan itu daripada aku. Ia sudah menyaksikan pengabdian ayahnya sebagai ketua RT selama dua puluh tiga tahun, nyaris lima periode. Dan kalau saja ayah mertuaku itu belum meninggal, tentu dalam dua periode RT terakhir ini beliaulah yang menjadi ketuanya, bukan aku. Maka apakah aku akan melanjutkan reputasi beliau? "Enough is enough" adalah jawaban Nin.
Mungkin Anda bertanya, apakah ayah mertuaku adalah orang yang suka menikmati kekuasaan---meskipun sekelas RT---sehingga bertahan puluhan tahun menjabat? Oh, tidak. Bukan begitu! Sejak dicalonkan atau persisnya ditekan secara sosial untuk pertama kalinya agar maju sebagai calon ketua RT, beliau tahu persis konsekuensinya. Mengurusi RT adalah kerja suka rela, tanpa imbalan, bahkan jika perlu nomboki kegiatan RT dari kocek sendiri. Saat pelantikan pengurus RT, Pak Lurah sendiri pernah berseloroh, "RT itu adalah ujung tombak sekaligus 'ujung tombok' birokrasi pemerintahan desa." Namun begitu, kecurigaan, cibiran, suara-suara miring yang nyelekit, bahkan caci maki masih saja sering diterima ketua RT. Lalu mengapa pada akhirnya beliau menerima jabatan itu lagi dan lagi? Tidak lain karena tak ada lagi yang mau menerima jabatan itu. Ada seribu satu alasan untuk menolaknya!
"Bapak menerima jabatan itu karena kehidupan bersama itu perlu aturan, perlu pemimpin. Bukankah sholat berjamaah itu harus ada imamnya? Jika orang yang faham tak ada satu pun yang mau maju sebagai imam, jamaah bisa kacau. Bagaimana, misalnya, jika ada orang yang rusak akhlaknya, atau mungkin kurang waras, tiba-tiba tampil menjadi imam?" Itulah alasan ayah mertuaku saat menjawab keberatan keluarganya atas pencalonannya.
Dengan ragu aku berusaha mengulang alasan ayah mertuaku itu di depan Nin, tetapi dengan tangkas ia menukas, "Yakin, sudah tidak ada orang lain kecuali Mas Anwar yang mampu memimpin RT? Mas Anwar ini gede rasa, naif, atau pura-pura tidak tahu? Mas, tidak seperti zamannya Ayah, warga kita sekarang sudah banyak yang pinter-pinter. Ada dosen, rektor, kepala dinas, kepala polisi, aktivis LSM, pengusaha penerbitan, seniman, bahkan pensiunan jenderal juga ada. Lebih dari separo warga kita ini berpendidikan tinggi. Segala macam sarjana dari universitas terbaik ada di sini. Mereka sangat mampu untuk sekadar mengurus RT."
"Masalahnya, mereka tidak ada yang mau."