Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) merupakan lembaga peninggalan pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia. Sebagai lembaga swakarsa masyarakat cum birokrasi, RT/RW ini memiliki masalah mendasar. Namun, sampai sekarang, masalah ini seolah diabaikan keberadaannya.
Padahal jika kita mencermati amanat Proklamasi, masalah ini termasuk dalam kategori “hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain” yang harus diselesaikan “dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.”
RT/RW (pada zaman Jepang disebut sebagai tonarigumi/chonaikai) merupakan lembaga mobilisasi dan kontrol masyarakat dalam lingkup pertetanggaan (10-20 rumah) bentukan pemerintah.
Melalui RT/RW, pemerintah militer Jepang mengerahkan manusia dan harta benda masyarakat untuk mendukung pemenangan mereka dalam Perang Dunia II.
Melalui RT/RW pula mereka mengendalikan rakyat—mendeteksi warga yang subversif dan menghukumnya. Tonarigumi ini juga diterapkan di tanah jajahan Jepang lainnya seperti Vietnam, Korea Selatan, dan Filipina.
Setelah Jepang kalah perang, tonarigumi dihapuskan kecuali di Indonesia. Namanya berubah menjadi RT/RW.
Di Indonesia merdeka, lembaga ini dimanfaatkan sebagai “ujung tombak” birokrasi serta menjaga kerukunan warga. Pembentukannya dilakukan secara swakarsa oleh masyarakat, tanpa paksaan seperti pada masa Jepang. Tersebab manfaatnya, RT/RW terus dipertahankan hingga sekarang.
Namun, “ujung tombak” itu sesungguhnya bermasalah secara mendasar, yakni tidak melekat pada birokrasi desa. Secara resmi lembaga ini bukanlah bagian dari struktur birokrasi, melainkan lembaga swakarsa masyarakat.
Keberadaannya sesungguhnya bersifat suka rela. Hanya karena pemerintah membutuhkannya, lembaga ini harus diadakan. Status RT/RW ambigu, keduanya adalah lembaga swakarsa masyarakat, tetapi juga organ birokrasi.
Dengan ambiguitasnya itu RT/RW terus difungsikan sejak awal kemerdekaan, terutama di Jawa lalu diduplikasi di tempat-tempat lain. Sampai berakhirnya Orde Baru, RT/RW berjalan “tanpa masalah”.