Lihat ke Halaman Asli

Ratu yang (Masih) Memimpin

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Membiarkan seseorang yang berada dalam penjara tetap memimpin adalah sebuah langkah mundur. Ini mencederai pemerintahan yang baik.” - Oce Madril, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (“UGM”) - (Koran TEMPO, 28/12/2013).

Akhir-akhir ini ramai diberitakan terkait RAC yang masih menjalankan kekuasaannya sebagai Gubernur Banten yang statusnya sudah menjadi tersangka dan telah dilakukan penahanan. Argumentasi yang diberikan dari pihak RAC adalah selain mengenai asas hukum praduga tidak bersalah (“presumption of innocence”), juga mengenai ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.

Firman Wijaya selaku Kuasa Hukum RAC menyatakan, “Tuntutan mengusulkan pemberhentian sementara itu termasuk brutality policy dan cenderung abuse of procedure karena tidak ada legal formal.” Hal tersebut disampaikan terkait keinginan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) untuk memberhentikan RAC dari Jabatan Gubernur Banten (Koran INDOPOS, 30/12/2013). Sedangkan Tama S. Langkun, Aktvis ICW mengatakan, “Pemerintah berdalih tidak bisa memberhentikan sementara Atut karena Pasal 31 ayat (1) UU Pemda menyatakan harus menjadi terdakwa,” (Koran TEMPO, 28/12/2013).

Berbicara mengenai hukum normatif sebagaimana dimaksud pada paragraf pertama, yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia, penulis pun sependapat dan tidak membantah akan hal itu. Tulisan ini pun juga tidak membahas perkara aquo dari substansi hukum pidana yang mengedepankan kebenaran materil. Namun hanya membahas secara sekelumit dari sudut pandang yang lainnya, yakni hukum administrasi negara.

Terlepas dari pro kontra mengenai hal tersebut, penulis sekedar sumbang pemikiran bahwasanya sebenarnya kita selaku rakyat NKRI dapat menilai apakah tindakan Pemerintah RI telah sejalan dengan asas negara hukum atau tidak (dalam hal ini tindakan Pemerintah RI yang sampai dengan saat ini belum memberhentikan sementara RAC). Caranya adalah dengan menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik (Algemene Beginselen van Berhoorlyk Bestuur atau “AUPB”). Meskipun AUPB bersifat normatif secara etika pada awalnya, AUPB saat ini telah berkembang menjadi asas-asas hukum pemerintahan yang tidak tertulis dan (layak) dipandang sebagai hukum positif tidak tertulis. Pemerintah RI pun sebenarnya dapat memakai AUPB ini guna menghindari kerugian terhadap rakyat NKRI.

Hotma P. Sibuea, dalm bukunya yang berjudul “Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik“ pada halaman 158-159 menyebutkan bahwasanya Asas-asas pemerintahan yang baik dikemukakan oleh Crince Le Roy (red. huruf a sampai dengan k) dan Kuntjoro Purbopranoto (red. huruf l dan m) meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. asas kepastian hukum (principle of legal security);

b. asas keseimbangan (principle of proportionality);

c. asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality);

d. asas bertindak cermat (principle of carefulness);

e. asas motivasi dalam setiap keputusan (principle of motivation);

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline