Ada hal yang menarik untuk disimak saat penulis pergi ke Puskesmas di Kota Tangerang Selatan ("Tangsel") pada pagi ini. Terlepas dari adanya pelayanan rawat inap dan pelayanan gratis di luar rawat inap bagi warga kota Tangsel, yang tentunya ada syarat dan ketentuan yang berlaku dan wajib dipatuhi. Kepergian penulis ke Puskesmas kali ini adalah untuk mengantar anak yang sakit batuk dan pilek.
Mengapa penulis pergi ke Puskesmas dan tidak ke dokter yang berpraktik di poliklinik maupun rumah sakit? Ada beberapa hal yang mendasari keputusan penulis kali ini, yakni sebagai berikut:
1.Penulis hanya membayar Rp 3.000,00 (tiga ribu Rupiah) saja atas pelayanan kesehatan. Itu pun sudah termasuk biaya dokter dan obat. Kewajiban pembayaran tersebut dikarenakan penulis tidak mempunyai identitas warga Tangsel. Identitas penulis sebagai warga DKI Jakarta sehingga wajar adanya jika penulis mengeluarkan biaya tersebut.
2.Ingin mengetahui perkembangan Puskesmas di masa kini setelah adanya pelayanan rawat inap dan pelayanan kesehatan gratis di luar rawat inap bagi warga kota Tangsel.
[caption id="attachment_307887" align="aligncenter" width="426" caption="Dok. pribadi - Wali kota dan wakilnya ada di sini.. ;)"][/caption]
3.Menurut penulis yang awam masalah kesehatan, fungsi dokter umum dimana pun akan sama saja. Tidak masalah dokter tersebut berpraktik di Puskesmas, Poliklinik maupun Rumah Sakit. Mohon dikoreksi ataupun ditambahkan di kolom komentar, jika pendapat penulis pada poin ini dirasa kurang tepat.
Sekiranya ketiga hal tersebut di atas yang mendasari penulis pergi ke Puskesmas pada pagi hari ini. Namun bukan ketiga hal tersebut yang akan dibahas sekelumit dalam tulisan ini. Melainkan adanya suatu "himbauan yang menarik" terkait dilepasnya alas kaki (pihak) pasien sebagaimana foto-foto di bawah ini. Please check it out ya, Kompasianers.. :)
Dok. pribadi - Dekat loket pendaftaran
Dok. pribadi - Masih dekat loket pendaftaran
Dok. Pribadi - Menuju apotik obat
Dok. pribadi - Ketidakpatuhan pasien dengan alas kakinya
Dok. pribadi - Bahkan alas kaki pasien pun di ruang pemeriksaan
Dok. pribadi - Bentuk kepatuhan penulis dan anak penulis. Ngenes juga padahal kalau hilang.. ;)
Dari foto-foto tersebut di atas, sekiranya hal apakah yang dapat kita cermati? Berikut pendapat penulis:
1.Apakah himbauan tersebut mencerminkan keadilan, khususnya bagi (pihak) pasien yang tidak memakai alas kaki di luar ruang pemeriksaan?
Sebelum diberlakukan himbauan tersebut, (pihak) pasien masih boleh menggunakan alas kaki di luar ruang pemeriksaan.
2.Semua perawat dan beberapa pegawai memakai alas kaki yang tidak steril kebersihannya dan bolak balik melalui luar ruang pemeriksaan dan ruang pemeriksaan.
3.Ternyata ada beberapa pasien yang bahkan memakai alas kaki di luar ruang pemeriksaan hingga ke ruang pemeriksaan dan tidak ada pihak yang menegurnya.
4.Apakah atas himbauan tersebut dapat menimbulkan penyakit baru, khusus bagi (pihak) pasien yang tidak memakai alas kaki?
5.Belum dipakainya kaidah berbahasa Indonesia sebagaimana Ejaan Yang Disempurnakan (“EYD”) dalam penulisan himbauan tersebut. Hal ini dapat terlihat pada kata "di lepas" dan "STAFF" yang seharusnya ditulis "dilepas" dan "staf". Selain hal tersebut, tidaklah perlu menuliskan kata "STAFF" dengan menggunakan huruf balok sebagaimana pada gambar ketiga di atas.
Salam keadilan… ;)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H