Lihat ke Halaman Asli

Maria Farida, Konsistensi Hakim Konstitusi

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13906432851297325641

[caption id="attachment_318137" align="aligncenter" width="800" caption="rustikaherlambang.wordpress.com - Maria Farida Indrati"][/caption]

Dari sembilan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi RI (“MK”) yang memutuskan permohonan uji materi terkait UU 42/2008 (red. Putusan Perkara Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013), hanya ada satu hakim yang mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Beliau adalah Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H., selaku hakim konstitusi wanita pertama pada MK. Seorang hakim konstitusi yang menurut pendapat penulis memiliki sifat rendah hati, bermartabat, berdedikasi dan konsisten.

Mengapa penulis mempunyai penilaian tersebut di atas? Hal ini dikarenakan sosok Maria Farida yang penulis kenal sejak penulis kuliah dahulu (1996-2000) memang demikian adanya. Sosok yang selalu sopan dan ramah terhadap para mahasiswa. Namun tetap memperlihatkan sebagai sosok yang tegas saat beliau menjalankan tugasnya sebagai dosen mata kuliah ilmu perundang-undangan.

Terbukti saat ini, beliau mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan menyatakan bahwasanya Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 yang menentukan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD dan DPD tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut sejalan dengan Putusan Perkara Konstitusi No. 52/PUU-VI/2008, dimana pada waktu itu Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. dan Prof. Yusril Ihza Mahendra bertindak selaku Pemohon dari Partai Bulan Bintang ("PBB") yang meminta agar pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dilaksanakan serentak. Pada perkara no. 52/PUU-VI/2008, Akil Mochtar, Abdul Mukthie Fadjar dan Maruarar Siahaan mengeluarkan pendapat berbeda terkait perkara yang juga diketuai oleh Mahfud MD dan menolak permohonan PBB.

Maria Farida selaku Hakim Konstitusi telah konsisten dengan pendapatnya tersebut. Mengingat putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan yang final dan mengikat. Dengan konsistensinya tersebut, maka secara moral beliau tidak dapat dipersalahkan dengan Putusan Perkara Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013. Putusan yang sesungguhnya saling bertentangan dengan Putusan Perkara Konstitusi No. 52/PUU-VI/2008, khusus Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008.

Salam keadilan… ;)

Catatan:

Sembilan hakim yang memutus Perkara Konstitusi No. 14/PUU-XI/2013 adalah Moh. Mahfud MD (saat ini pensiun), Achmad Sodiki (saat ini pensiun), Akil Mochtar (saat ini Tersangka), Hamdan Zoelva (saat ini Ketua MK), Muhammad Alim, Ahmad Fadlil, Maria Farida Indrati, Harjono dan Anwar Usman dalam Rapat Permusyawaratan Hakim pada tanggal 26 Maret 2013.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline