Lihat ke Halaman Asli

The Jakarta Post Tidak Akan Mempertaruhkan Kredibilitasnya

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1397465508207434134

[caption id="attachment_331623" align="aligncenter" width="643" caption="Media Online The Jakarta Post. (www.thejakartapost.com)"][/caption]

Sangat menarik membaca artikel yang ditulis oleh Kompasianer Mawalu yang berjudul “Jokowi Diusir Puan Maharani, The Jakarta Post Kehilangan Kepercayaan Pembacanya” dan dijadikan headline oleh Kompasiana. Kompasiana pun seperti biasa memberikan judul pendukungnya terhadap artikel yang berhasil menjadi headline. Kali ini judul pendukung tersebut berjudul “Jokowi Diusir Puan, The Jakarta Post Kredibel?”

Kali ini penulis tidak bermaksud membela The Jakarta Post ataupun Puan Maharani maupun Jokowi atas berita yang diinformasikan oleh The Jakarta Post dengan judul “Jokowi shrugs off infighting” yang dituliskan oleh Hans David Tampubolon dan sempat menjadi headline di The Jakarta Post pada hari Sabtu, 12 April 2014 lalu. Penulis akan berbagi sekelumit pengalaman terkait hubungan penulis dengan The Jakarta Post selama ini. Pada khususnya pengalaman terkait pemberitaan yang dilakukan oleh wartawan The Jakarta Post beberapa tahun yang lalu.

Pada tanggal 27 Juli 2002, penulis pernah diwawancarai oleh wartawan The Jakarta Post dengan judul beritanya “AEKI starts Rp 1b coffe-drinking drive”. Selain itu The Jakarta Post pun pernah memberitakan perkara yang pernah ditangani oleh penulis dan tim beberapa tahun yang lalu. Adapun terkait perkara yang ditangani tersebut dituliskan menjadi berita dengan judul “Megawati, Hamzah, Amien morally responsible for scam: lawyer”, serta ditayangkan pada tanggal 3 September 2002 dan berita tersebut masuk dalam “Indonesia News Digest No 34 – September 2-8, 2002” pada situs asia-pacific-solidarity.net.

Selain hal tersebut di atas, penulis pun pernah meminta bantuan kepada The Jakarta Post terkait kegiatan penulis sewaktu membantu Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) terkait outsourcing. The Jakarta Post pun pada akhirnya menurunkan tulisannya di kanal headline yang berjudul “Outsourcing rule leads to kickbacks, confusion” pada tanggal 22 November 2013. Apa yang sebenarnya ingin penulis sampaikan pada kali ini?

Sebagaimana kita ketahui bersama, peraturan perundang-undangan tentang jurnalisme telah diatur di dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers). UU Pers tersebut menjamin kebebasan pers, namun kebebasan yang bukan tanpa batas. Bilamana para wartawan atau pekerja pers melakukan delik pers, maka dapat dituntut secara hukum.

Selain UU Pers tersebut, para pekerja pers yang menggunakan media online dapat juga dijerat dengan menggunakan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada praktiknya, tidak hanya kedua UU tersebut yang digunakan untuk menjerat para pekerja pers ataupun medianya. Beberapa ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) bilamana menggunakan elektronik (televisi dan radio), UU No. 40 Tahun 2008 tentang Pornografi, UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan peraturan perundang-undangan lainnya, dapat pula digunakan terkait kejahatan/pelanggaran yang dilakukan oleh pers.

Dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pun telah ditentukan rambu-rambu bagi pekerja pers dalam memberitakan sesuatu peristiwa. Adapun Kode Etik Jurnalistik yang berlaku di Indonesia telah ditetapkan oleh Dewan Pers melalui Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 Tentang Kode Etik Jurnalistik. Syofiardi Bachyul Jb, Roni Saputra dan Andika D. Khagen dalam bukunya yang berjudul “Memahami Hukum Pers”, menyatakan bahwasanya KEJ dapat dijabarkan ke kode perilaku sebagai berikut: independen, niat yang baik, selalu mencari kebenaran, menghormati perbedaan, asas praduga tak bersalah, patuh pada aturan profesional dan menjaga kesopanan.

Selain itu bilamana Puan Maharani ataupun Jokowi merasa pemberitaan yang diberitakan The Jakarta Post tersebut tidak benar adanya, maka mereka dapat memberikan hak jawab kepada The Jakarta Post. Bilamana mereka tidak menggunakan hak jawab tersebut, maka penulis dan pembaca lainnya dapat sependapat dan membenarkan pemberitaan The Jakarta Post. Apakah hal tersebut telah dilakukan oleh Puan Maharani ataupun Jokowi? Wallahu a’lam.

Salam keadilan… ;)

Referensi:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline