Lihat ke Halaman Asli

Aborsi Karena Perkosaan (Tidak) Melanggar Hukum? (I)

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14084666221240030492

[caption id="attachment_354053" align="aligncenter" width="300" caption="http://image.slidesharecdn.com/ - PP 61/2014"][/caption]


”Kami disumpah untuk melestarikan kehidupan. Jadi saya berharap agar tidak melibatkan dokter dalam tindakan aborsi.” – Ketua Ikatan Dokter Indonesia, Zaenal Abidin (Republika, Jumat, 15 Agustus 2014)


Sebagaimana kita ketahui bersama, PP No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi (“PP 61/2014”) telah diundangkan pada tanggal 21 Juli 2014 yang lalu. Adapun PP 61/2014 ini merupakan aturan pelaksanaan dari upaya kesehatan, khususnya terkait kesehatan reproduksi yang diamanahkan untuk dikeluarkan oleh UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (“UU 36/2009”). Sedangkan batang tubuh PP 61/2014 terdiri dari 8 Bab dengan 52 Pasal. Tulisan ini tidak membahas secara terperinci mengenai bab maupun pasal dalam PP 61/2014, melainkan hanya membahas sekelumit terkait ketentuan mengenai aborsi yang disebabkan perkosaan dan akan terbagi dalam beberapa tulisan.


Khusus mengenai aborsi, sebenarnya telah diatur terlebih dahulu dalam UU 36/2009. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 75 sampai dengan Pasal 77 UU 36/2009. Yang pada intinya, setiap orang dilarang melakukan aborsi dan kebolehannya pun hanya berdasarkan hal-hal sebagai berikut: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan (vide/lihat Pasal 75 ayat (1) dan (2) UU 36/2009). Ketentuan terkait aborsi karena perkosaan merupakan hal yang baru di dalam UU 36/2009, hal mana tidak didapati di dalam UU sebelumnya, yakni UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan (“UU 23/1992”).


Sekilas bila kita membaca kebolehan aborsi karena perkosaan yang menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan (vide Pasal 75 ayat (2) UU 36/2009), apakah ketentuan tersebut merupakan upaya yang ‘menghalalkan’ aborsi? Sebelum menjawabnya ada baiknya kita melihat ketentuan selanjutnya sebagaimana diatur dalam Pasal 76 UU 36/2009 yang menyebutkan sebagai berikut:


“Pasal 76 UU 36/2009:


Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:

a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;

b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;

c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline