Industri kelapa sawit di Indonesia pada awalnya adalah bisnis modal besar. Bahkan industri sawit pada mulanya dan tidak melibatkan masyarakat atau perorangan. Barulah pada tahun 1979, sejumlah kelompok tani mulai ikut serta menanam pohon kelapa sawit.
Munculnya para petani perorangan dalam mengelola perkebunan secara mandiri memberi manfaat ganda pada industri ini. Pertama terjadinya peningkatan taraf ekonomi masyarakat lokal. Kedua, adanya pemanfaatan lahan yang sebagian di antaranya merupakan area terlantar di sejumlah daerah, terutama Sumatera.
Data Kementerian Pertanian (Kementan) menyebutkan, pada tahun 1979, total lahan yang sawit yang dikelola petani perorangan tercatat seluas 3.125 hektar. Sementara lahan milik perusahaan berjumlah seluas 260.939.
Seiring perjalanan waktu, pada 2017, Kementan menyebutkan jika jumlah lahan milik perorangan melonjak pesat yakni mencapai 4,75 juta hektare. Ini lebih dari 30 persen dari total 12.30 juta hektar lahan perkebunan sawit yang ada di Indonesia.
Besarnya lahan yang dikelola petani perorangan itu membuat sejumlah konsekuensi baru. Pasalnya beberapa lahan milik petani perorangan tersebut ada yang berasal dari kawasan hutan produksi dan tak boleh dialihfungsikan. Namun karena sosialisasi yang kurang, maka lahan tersebut menjadi area perkebunan sawit, sehingga kerap dituding tak menjalankan prinsip "Berkelanjutan".
Masalah-masalah tersebut kerap kali menjadi senjata bagi negara-negara Uni Eropa dalam menyerang keberadaan industri sawit di Indonesia. Mereka mengkampanyekan hal negatif yang menyudutkan Indonesia. Namun praktek-praktek pengalihan lahan/hutan menjadi perkebunan sawit tersebut tak hanya terjadi pada petani sawit perorangan.
Selain isu-isu lingkungan ini, para petani perorangan ini tanpa disadari juga harus menghadapi masalah penting lain, yaitu tingkat produktivitas hasil perkebunan mereka.
Berdasarkan data yang Kementan, tingkat produktivitas lahan milik petani kerap jauh di bawah kebun milik perusahaan atau korporasi. Ini dapat dimaklumi sumber daya atau dana milik perusahaan perkebunan memungkinkan mereka untuk merawat pohon dan lahan agar produktifitas tetap terjaga. Sementara petani perorangan perawatan lebih minim. Lahan perorangan atau kelompok tani, kerap terhambat modal dan sumber daya guna mempertahankan kualitas batang pohon kelapa sawit yang mereka miliki.
Pemerintah kini sudah mulai merevitalisasi dan meningkatkan produksi kelapa sawit milik petani perorangan lewat Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Hal ini dilakukan agar produktivitas perkebunan sawit rakyat itu membaik. PSR diharapkan menjadi fondasi baru dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit rakyat.
Perlu diingat, penggantian pohon sawit tua dengan yang muda harus juga mencakup peningkatan produktifitas. Ini bukan sekedar bicara pohon baru, namun harus dilihat dalam kerangka yang lebih luas atau makro, berupa penataan ulang perkebunan milik rakyat itu sendiri.
Agar program PSR bisa mencapai target, maka pemerintah harus menentukan desain seperti apa yang diinginkan. Sebab, jika hanya sekedar mengganti, sejumlah masalah besar akan menghadang beberapa tahun kemudian. Salah satunya adalah singkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah.