Lebih dari sepekan menjelang penyelenggaraan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar, yang akan digelar 3-5 Desember mendatang di Jakarta, kondisi internal partai berlambang pohon beringin cenderung makin memanas. Riak-riak kecil berpotensi membesar. Dalam perkembangan terkini, ada ancaman digelarnya munas tandingan.
Munas tandingan, yang secara harfiah berarti kader Golkar kembali pecah, mestinya adalah sesuatu yang menjadi momok dan harus dihindari oleh kader-kader terbaik Golkar, terutama para pendiri dan sesepuh partai. Namun, ancaman munas tandingan seolah-olah menjadi senjata pamungkas, entah untuk sekadar menghalalkan cara atau bahkan mencapai tujuan.
Ancaman munas tandingan awalnya dilontarkan pendukung kubu Bambang Soesatyo, Ketua MPR yang menjadi salah satu kandidat ketua umum. Kita ketahui bahwa Bamsoet belakangan demikian seriusnya mempersiapkan diri, dari semula terkesan adem-ayem.
Jabatan sebagai Ketua MPR yang diperolehnya dengan bantuan all-out Airlangga Hartarto--inkumben Ketua Umum Golkar, sejak akhir 2017-- membuat Bamsoet yang awalnya sudah puas dengan posisi barunya -setelah melepas jabatan Ketua DPR-- menjadi serius. Bamsoet dikesankan sebagai 'lupa kacang pada kulitnya'. Pasalnya, sebelumnya ia berkomitmen untuk mendukung Airlangga Hartarto sebagai Ketum Golkar 2019-2024. Artinya, di munas, ia tidak akan bertarung dengan Airlangga Hartarto.
Ancaman munas tandingan tidak dilontarkan oleh empat calon atau kandidat ketum lainnya, yakni Ridwan Hisjam, Indra Bambang Oetoyo, Agun Gunandjar Sudarsa, dan Airlangga Hartarto. Kubu Airlangga Hartarto bahkan terkesan cool menghadapi berbagai friksi yang terjadi menjelang munas. Serangan yang datang bertubi-tubi dari pihak lawan, terutama kubu Bamsoet, direspon secara bijak. Kendati demikian, potensi perpecahan dan ancaman munas tandingan, jangan dipandang sebelah mata.
Sejarah mencatat bahwa Partai Partai Golkar tak asing dengan perpecahan. Ironisnya, bakhkan, perpecahan sudah terjadi di era reformasi. Era reformasi 1998 membawa demokratisasi ke tubuh Golkar sekaligus benih-benih keretakan. Tiap Golkar menggelar musyawarah nasional, ada saja kader yang hengkang. Maka selain menjadi ajang pertarungan memperebutkan kursi ketua umum, munas menjadi semacam "prahara" bagi Golkar.
Munas 1998, misalnya, berujung dengan pengunduran diri bekas Panglima ABRI Jenderal Purnawirawan Edi Sudradjat dari partai beringin. Saat itu, Edi yang kalah dari pertarungan memperebutkan posisi ketum dengan Akbar Tandjung, memutuskan keluar dari partai dan mendirikan Partai Keadilan dan Pesatuan (PKP) yang di kemudian hari berubah menjadi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.
Selain Edi, Mien Sugandhi juga mundur di masa kepemimpinan Akbar. Mantan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita itu lantas mendirikan Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR). Kita tahu MKGR tak lolos ambang parlemen.
Sejarah berulang pada 2004. Pada Munas 2004 itu, terdapat pula beberapa nama calon ketua umum. Namun kandidat kuatnya hanya dua, Jusuf Kalla dan Akbar Tandjung. Posisi JK lebih kuat karena saat itu menjabat wakil presiden di pemerintahan periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sejak berdiri, Golkar cenderung nyaman berada di lingkaran kekuasaan.
Di masa JK ini, Wiranto mundur dari Golkar dan mendirikan Partai Hanura. Selanjutnya Prabowo Subianto juga mundur dan mendirikan Partai Gerindra.
Pada Munas berikutnya, 2009, Aburizal Bakrie tampil sebagai ketua umum. Ia mengantongi 296 suara, berselisih tipis dengan Surya Paloh yang memperoleh 240 suara. Paloh tak puas. Menurutnya ada yang tak beres dengan munas kedelapan Golkar itu. Surya Paloh kemudian mundur dari Golkar dan mendirikan ormas Nasdem yang kemudian berubah menjadi partai.