Peraturan Komisi Pemilihan Umum yang bulan Juni lalu dirilis, seperti melarang mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri dalam pemilihan umum legislatif tahun 2019 sesuai Peraturan KPU (PKPU) nomor 20 tahun 2018, menuai banyak pro dan kontra. PKPUini bahkan sudah mulai dibawa oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan uji materi.
Intinya, banyak calon anggota legislative yang keberatan jika peraturan tersebut diberlakukan. Terutama bagi mereka yang pernah menjalani hukuman sebagai narapidana kasus korupsi. Misalnya Muhammad Taufik,Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dari Partai Gerindra.
M. Taufik, pernah tersangkut kasus korupsi saat menjabat sebagai Ketua KPUD DKI Jakarta pada tahun 2009. Ia lalu mendapat hukuman karena menyalahgunakan anggaran. Namun bukan hanya M. Taufik saja yang meradang. Ada banyak mantan narapidana korupsi yang menilai PKPU tersebut tidak adil dan membatasi hak mereka untuk dipilih dalam pesta demokrasi lima tahanan.
Begitu pula dengan Wa Ode Nurhayati yang juga mantan narapidana kasus korupsi. Menurutnya, PKPU tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu. Wa Ode yang pernah dihukum akibat tersangkut kasus korupsi PPID menilai PKPU itu tidak tepat.
Sementara yang setuju menganggap peraturan tersebut perlu diterapkan agar membatasi calon anggota legislative dengan seleksi secara dini. Narapidana korupsi dianggap sebagai pihak yang sudah memiliki cacat hukum sehingga integritasnya dipertanyakan.
Menyimak pro dan kontra tersebut, tentu menarik jika dibandingkan dengan aturan serupa yang diterapkan organisasi lain, misalnya organisasi sepak bola seperti PSSI. Menyesuaikan aturan dari FIFA, PSSI membuat statute yang membatasi calon anggota Komisi Eksekutif dengan ketat. Salah satu syarat untuk bisa dipilih menjadi anggota Komite Eksekutif PSSI, Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum PSSI, statute secara jelas dan gamblang mengharuskan calon tersebut tidak pernah tersangkuta atau dihukum dalam kasus pidana.
Bahkan saking garangnya aturan tersebut, tak disebutkan pidana spesifik apa saja yang dilarang. Pokonya pernah dihukum kasus pidana, Entah berapa lama hukumannya, tak boleh lagi mencalonkan diri sebagai anggota Komite Eksekutif.
Aturan ini telah membuat Nurdin Halid, mantan Ketua Umum PSSI terpental dan tak bisa lagi berkiprah sebagai anggota Komisi Eksekutif. Aturan itu pula telah membuat semacam standar yang jelas dan tegas tentang integritas seseorang.
Kembali ke PKPU, aturan yang tertera sebenarnya masih dibilang longgar dibandingkan dengan aturan Komisi Eksekutif PSSI. Padahal, aturan menjadi caleg di DPR, DPRD, tentu gengsi dan fungsinya lebih hebat dibandingkan Komite Eksekutif PSSI.
Jika lembaga seperti PSSI saja bisa dan berani menerapkannya, tentunya sebagai sebuah negara Indonesia juga harus berani mengambil keputusan itu. Negara harus berani menerapkan aturan PKPU tentang mantan narapidana korupsi, kasus kejahatan seksual anak dan human trafficking tak boleh nyaleg lagi.
Ini bukan perkara menghilangkan hak asasi, namun lebih pada memberikan rambu-rambu kepada siapa saja yang hendak nyaleg harus memiliki integritas dan tak pernah cacat di mata hukum. Jika semua anggota legislative seperti itu, Diharapkan bisa mengurangi risiko adanya perbuatan atau tindak kejahatan lain yang bisa saja terjadi saat menjadi anggota legislatif.