Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi telah mengeluarkan beleid atau ketetapan yang melarang mantan narapidana sejumlah kasus criminal dilarang maju mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di seluruh tingkatan pemilihan.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan dalam pertimbangan penetapan PKPU tersebut, pihaknya sudah menjalankan seluruh tahapan proses sesuai UU sehingga pihaknya merasa tidak ada masalah terkait penetapan aturan tersebut.
Namun alih-alih menenangkan, aturan yang tertuang dalam PKPU nomor Nomor 20 Tahun 2018 itu ternyata masih mengundang kontroversi dan penentangan dari banyak pihak. Poin penolakan khususnya terkait kepada pasal 7 poin 1 huruf h PKPU tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2019.
Isi lengkap poinnya seperti berikut "Bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi," Yang menjadi titik kritik, bukan pada pelarangannya, namun lebih kepada proses pembuatan aturan itu sendiri. Sebagian pihak menilai, KPU sebagai Lembaga yang membuat dan mengawal aturan, telah melanggar prosedur dan tahapan pembuatan sebelum dilahirkan menjadi sebuah ketetapan.
Adapun yang beberapa poin yang menurutsejumlah pihak telah dilewati oleh KPU. Pertama, soal pasal 240 ayat 1 huruf g pada Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal itu secara nyata dan tegas tidak melarang mantan napi untuk jadi caleg asalkan yang bersangkutan secara terbuka menyatakan dirinya mantan napi.
Poin lain yang perlu ditanggapi KPU RI adalah pasal 75 ayat 4. Sebagaimana disebutkan bahwa dalam penyusunan PKPU, KPU RI wajib berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam rapat dengar pendapat. Maka dalam pembuatan PKPU ini, KPU seperti berjalan atas kemauan sendiri, karena Lembaga tertinggi pengawas pelaksanaan pemilihan di seluruh tingkatan di Indonesia baik legislative atau presiden ini tak "Sowan" ke DPR dalam proses pembuatannya.
Selain itu, mengacu kepada UU nomor 17 tahun 2014 jo UU nomor 2 tahun 2018 tentang MD3 pasal 74 ayat 2 disebutkan. Jika pun sudah menggelar pertemuan dan Rapat Dengan Pendapat dengan DPR, maka keputusan tersebut wajib ditindaklanjuti lembaga negara termasuk badan hukum.
Maka yang terjadi dalam PKPU ini adalah, dia sama sekali tak diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM serta kementerian Dalam Negeri sebagai Lembaga pemberi cap resmi atau pengesah sebagai aturan yang hendak ditetapkan. Dampaknya adalah, jika dua Lembaga tersebut tak memberikan stempelnya PKPU itu menjadi batal demi hukum.
Meski KPU berkeras mengatakan prosedur sudah mereka jalankan dan menyuruh yang keberatan mengajukan uj material di Mahkamah Agung, pihak2 yang terkait sepertinya balik saja ke rel awal... Siapa yang melanggar siapa yang patuh...???. Dan pada akhirnya biar rakyat yang menilai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H