Sampai kapan pemangku kebijakan itu berhenti meributkan hal yang tidak prinsip dan fokus kepada penyelesaikan perkara berat yang masih terbengkalai dalam urusan revisi RUU Antiterorisme. Revisi UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan pemerintah itu hingga saat ini tak kunjung diketok
RUU ini seperti dibiarkan mengendap sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kedua belah pihak, secara tidak langsung seolah-olah menyanderakan dirinya kepada pihak lain. Atau dengan kata lain, dead lock yang terjadi selama ini memang ada yang menghendaki
Masyarakat sebagai pihak yang menunggu, selama ini hanya dibiarkan menjadi penonton sirkus komidi kata dari para actor di senayan sana. Atau pihak istana yang tak jarang harus memainkan gendang, agar irama yg keluar serasi dengan tarian yang dimainkan kalangan parlemen. Agar penonton dalam hal ini rakyat sedikit terhibur serta melupakan tekanan ekonomi yang tak kunjung reda.
Maka. Ketika rententan peristiwa aksi bom bunuh diri selama dua hari di Surabaya diikuti oleh penyerangan mapolres di Pekan Baru, semua pihak dikejutkan dan terlihat panic dengan rentetan peristiwan tersebut.
Semua terkejut, dan kembali berpaling kepada revisi RUU Anti Teroris, dan semuanya baru sadar, ada yang telah mereka abaikan. Tapi kesadaran itu cuma sebentar, karena watak asli manusia Indonesia kembali mengemuka, yaitu saling lempar kesalahan ke pihak lain, tanpa mau mencoba introspeksi. Baik pemerintah maupun DPR sama saling lempar kesalahan, dan tuduh pihak lain sebagai biang kerok..
Sumbernya ada pada urusan pengertian dan definisi, plus tambahan kata-kata yang membuat urusan RUU itu jalan ditempat. Kedua belah pihak juga sama-sama membenarkan, mereka hanya perlu menyelesaikan sedikit kendala yang tersisa itu.
Semestinya, dengan klaim tinggal menyisakan sedikit pekerjaan lagi, RUU ini seharusnya tinggal ketuk palu. Apalagi setelah Pansus telah menemukan alternatif solusi terkait perdebatan frasa "motif politik (terorisme)", apakah dimasukkan dalam batang tubuh atau penjelasan umum RUU itu.
Namun dalam perkembangannya, wacana tambahan kembali mengemuka. Apalagi kalau bukan soal pelibatan pihak-pihak yang dianggap perlu.
Kalau semula silang pendapat hanya ada di sekitar anggota dewan dan pemerintah, kali ini wilayahnya menjadi lebih luas, khususnya melalui media sosial, dimana wacana pelibatan unsur TNI dalam penindakan teroris itu juga mengemuka, selain definisi terorisme itu sendiri yang terus menuai tanggapan di sosial media.
Kekhawatiran tersebut sebenarnya sangat wajar, karena trauma dwi fungsi ABRI yang menjadi alat pemerintahan Orde Baru era Soeharto masih tersisa hingga saat ini.
Namun demikian, pemerintah dan tim ahli DPR sejak awal sudah menegaskan bahwa RUU ini tidak membatasi dan mempersulit proses-proses penegakan hukum oleh para penegak hukum. Dengan artian, kekhawatiran yang tidak perlu itu sebenarnya tak perlu menjadi batu sandungan lagi untuk pengesahan revisi RUU ini.