Lihat ke Halaman Asli

Fajar Perada

seorang jurnalis independen

Posisi Strategis Setya Novanto di Mata Jokowi

Diperbarui: 22 Maret 2017   12:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto, memainkan peran sangat penting dalam permainan politik Presiden Joko Widodo. Setnov, demikian ia biasa disapa, seperti menjadi sebuah penyeimbang bagi Jokowi dalam menghadapi tekanan partai terutama PDIP, sejak tahun 2016.

Hal ini bisa terjadi lantaran, langkah cantik Setnov dalam memainkan catur politiknya bersama Partai Golkar. Sejak pertengahan tahun 2016, Setnov sukses menjadi Ketua Umum Partai Golkar dalam musyawarah luar biasa di Bali. Ia berhasil menyatukan kepingan-kepingan tak beraturan dalam tubuh partai berlambang pohon beringin itu untuk memunculkan satu suara dan satu komitmen.

Lebih cantik lagi, Setnov langsung mendeklarasikan Partai Golkar untuk mendukung Jokowi maju dalam pemilihan presiden tahun 2019 mendatang. Luar biasa. PDIP sebagai pengusung utama Jokowi selama ini, belum juga mendeklarasikan hal itu.

Berkat dukungan Golkar dan Setnov, Jokowi pun mampu lepas dari bayang-bayang Megawati Soekarno Putri dan gerombolan dari partai berlambang banteng itu. Jokowi bahkan perlahan mampu menepis stigma “petugas partai” yang selama ini dialamatkan kepadanya.

Dukungan, Golkar, membuat Jokowi lega. Ia pun bermanuver seperti saat dirinya tetap menunjuk Archandra Tahar sebagai Wakil Menteri ESDM. Padahal sudah banyak penolakan kuat dari kubu PDIP. Pramono Anung, Menseskab, sudah ngotot berusaha untuk menjegal. Tapi Jokowi, yang sudah makin besar tak peduli lagi dengan sinyal merah dari PDIP. Toh, kini ia sudah mendapatkan sinyal hijau dari partai kuning, Golkar.

Dukungan Golkar untuk Jokowi, juga membuat sedikit gejolak bagi Jusuf Kalla. Wakil Presiden RI itu, tahun 2019, sudah tak bisa lagi mencalonkan diri sebagai wapres. Kalaupun ingin “bermain”, ia harus maju sebagai Presiden. Namun apa lacur, kuda tungganggannya, Partai Golkar, sudah dibawa lari oleh Setnov ke Jokowi.

Terlihat, Jusuf Kalla cuma bisa merasa kesal, gondok atas tingkah Setnov. Tak heran, banyak komentar dari Jusuf Kalla, yang miring tentang Setnov. Misalnya: jika ada keterlibatan Ketua DPR sebaiknya ganti saja. “Masih banyak orang yang bisa menjadi Ketua DPR , dalam sehari,” begitu kira-kira pendapat Jusuf Kalla.

Munculnya Golkar dan Setnov di belakang Jokowi, juga terlihat dengan aktivitas kedua tokoh politik ini yang sering bertemu bahkan terkadang, seminggu lebih dari dua kali. Komunikasi yang terjalin antara Ketua Partai Golkar dengan Jokowi, boleh dibilang lebih intens dari pada Jokowi dengan Ketua Umum PDIP.

Sinyal itu membuat PDIP, harus sadar diri pada kenyataan tak bisa lagi menyetir Jokowi, seenak perutnya. Toh, jika PDIP tak mau mendukung Jokowi di Pilpres 2019, Partai Golkar sudah hadir lebih dulu untuk menyatakan dukungannya. Dengan berbekal suara sekitar 10 persen pada pemilu 2014, dengan menggandeng Jokowi, Golkar yakin suaranya akan lebih baik pada Pemilu 2019 nanti.

Jika dibantu partai-partai kecil dan menengah yang selama ini die hard mendukung Jokowi, seperti Partai Nasdem, Partai Hanura, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Jokowi bisa melenggang maju ke gelanggang pilpres 2019, tanpa peduli lagi dengan PDIP.

Andai PDIP merasa dikhianati, hal biasa dalam politik, Megawati bisa saja memunculkan figure baru untuk menantang Jokowi. Misalnya lewat figure Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng dan Tri Risma Harini, Walikota Surabaya, untuk maju ke pilpres. Hanya saja pasangan ini akan sulit bersaing dan melewati kepopuleran Jokowi, yang kini sudah mendapatkan 61 persen atas kinerjanya memimpin Indonesia selama dua tahun terakhir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline