J
Judul di atas sebenarnya sudah menjadi pertanyaan mendasar atau elementer dari masyarakat. Penurunan harga BBM, baik BBM bersubsidi atau tidak, seharusnya diikuti dengan penurunan harga bahan kebutuhan pokok masyarakat. Inilah juga yang secara umum sekaligus seperti menumbuhkan sikap masabodoh dari masyarakat, terutama masyarakat golongan bawah, rakyat kecil yang tidak terlalu merasakan dampak langsung dari penurunan harga BBM baik non subsidi maupun bersubsidi/penugasan tersebut, termasuk Premium dan Solar.
Dua hal yang sangat bertolak belakang. Pemerintah hanya bisa mengontrol harga bahan kebutuhan pokok melalui operasi pasar, sementara untuk kenaikan atau penurunan harga BBM khususnya yang bersubsidi/penugasan sejak awal ditentukan oleh pemerintah.
Selama ini, fluktuasi harga BBM bersubsidi/penugasan sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah. Dalam menentukan kenaikan atau penurunan harga BBM produk-produk BBM bersubsidi/penugasan PT Pertamina (Persero) ini pemerintah secara seksama memperhitungkan tren penurunan/kenaikan harga BBM di tingkat global dan nilai tukar kurs rupiah terhadap dollar dengan formula harga yang telah disepakati oleh DPR/Komisi VII dan Pemerintah (harga transparan). Merujuk pada keterangan Menteri ESDM Sudirman Said, harga jual eceran BBM bersubsidi jenis Solar dan minyak tanah serta harga BBM penugasan jenis Premium ditetapkan setiap tiga bulan sekali. Keputusan tersebut dituangkan Sudirman Said dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2015 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran BBM.
Aturan yang ditandatangani Sudirman Said pada 9 November 2015 tersebut praktis sudah berlaku dan menggantikan aturan sebelumnya bernomor 39 Tahun 2014 yang menyebut harga BBM ditentukan oleh Menteri ESDM setiap bulan. Dengan demikian, harga jual eceran jenis BBM tertentu ditetapkan setiap tiga bulan, atau apabila dianggap perlu Menteri dapat menetapkan lebih dari satu kali dalam setiap tiga bulan.
Kewajiban Pemerintah
Dalam menetapkan harga jual eceran tersebut, pemerintah tampaknya mempertimbangkan tiga hal. Yakni, kemampuan keuangan negara atau situasi perekonomian, kemampuan daya beli masyarakat, dan ekonomi riil dan sosial masyarakat. DI sisi lain, penetapan harga BBM oleh pemerintah, bukan Pertamina, sesuai dengan amar putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan campur tangan pemerintah dalam kebijakan penentuan harga harus menjadi kewenangan utama di cabang-cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karenanya, MK memutuskan bahwa penentuan atau penetapan harga BBM tetap di tangan pemerintah.
Dengan begitu, kebijakan pemerintah yang memberlakukan penurunan harga BBM sama sekali tidak bertentangan dengan putusan MK tersebut, Hal ini juga disampaikan oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, yang menyebutkan bahwa tidak ada pertentangan antara putusan MK dengan pecabutan subsidi Premium dan penerapan subsidi tetap untuk Solar. Menurut Bambang Brodjonegoro, harga BBM ditentukan oleh pemerintah, dan itu bisa saja setiap bulan dengan tidak mengikuti mekanisme pasar. Jika mengikuti tren di pasar, bisa saja setiap hari terjadi penyesuaian harga.
Selama ini penentuan harga oleh Pemerintah dilakukan berdasarkan beberapa indikator. Pertama, rata-rata MOPS dan nilai tukar rupiah dari setiap tanggal 25 di bulan sebelumnya dan 24 hari setelahnya. Sebagai contoh, dari penentuan atau penurunan harga BBM yang dilakukan 5 Januari 2016 lalu. Penurunan harga dilakukan dengan menghitung berdasarkan rata-rata MOPS 25 November sampai 24 Desember dan rata-rata kursnya. Tentunya diperhitungkan juga Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10% dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dengan rentang 5-7,5%. Potensi adanya penambahan biaya distribusi juga tak diabakan.
Mengapa ada biaya distribusi? Bandingkan Jakarta dengan Jayapura, Papua. Karena kalau harga di Jakarta oke buat Pertamina, begitu di Papua sulit, karena biaya angkutnya mahal. Pola penetapan harga untuk Premium sama halnya dengan Solar. Akan tetapi Solar diberikan subsidi.